Total Tayangan Halaman

Sabtu, 31 Maret 2012

Julintang Majnun

Julintang Majnun

Aku berpacu dengan angin, menghilang bersama sunyi, dan muncul ketika senja. Hidup dalam kesendirian, tanpa memiliki siapapun dan apapun. Berlalu bersama bintang dan berkokok bersama ayam. Jalan tanpa tentu arah, hanya dengan bantuan rasi bintang biduk yang dilukis oleh langit.

Tanpa pernah menginjak bangku sekolah dasar, aku tak tau apakah aku ini. Terbuat dari apakah aku ini? Apa aku benar-benar lahir lewat rahim seseorang? Tidakkah aku diciptakan langsung oleh pemilik jagad raya ini?

***

"K
au Siapa?" Tanya julintang pada bayang semu di hadapannya. Pertanyaan yang dia lontarkan tanpa ada sedikitpun kejanggalan pada tiap kalimatnya. Tanya yang tak mungkin terjawab oleh siapa saja yang mendengar, hanya berlalu hinggap di tepi jendela hingga diterbangkan oleh angin.

Sesaat Julintang tersentak, terkesiap dalam sunyi. Matahari mulai menghilang, hingga Julintang keluar dari dalam peraduan. Kembali menghadapi malam, melancarkan aksi sebagai seorang Majnun. Tokoh maya dalam buku fenomenal yang selalu menjadi penutannya dalam hidup. Dia menobatkan dirinya sendiri untuk menjadi seorang Majnun di jaman modern. Seorang Majnun yang kehilangan Lailanya dan menjadi gila. Julintang menjadi Majnun yang terus menerjang badai malam, melontarkan tiap kata yang terlintas dalam benak, tanpa peduli bagaimana mata-mata penuh hina melihatnya dari balik jendela.

Begitulah kehidupannya setiap hari, menjadi kelelawar berwujud manusia. Diam dalam peraduan saat matahari nampak dan baru akan memunculkan diri di muka masyarakat kala matahari beranjak hilang, dan baru akan kembali lagi ke peraduannya saat fajar mulai menyingsing.

***

Lingkaran tahun pada pohon di depan rumah Julintang terus bertambah, seperti usia Julintang yang juga sudah dalam taraf akhir masa remaja. Di satu sisi orang-orang hanya menganggap Julintang orang tidak berguna yang menemani malam dan menghibur anak-anak kecil, namun di sisi lain orang akan menganggapnya manusia yang patut dikasihani.

Rumah tua bekas peninggalan Belanda itu juga makin kotor tiap harinya. Rumah Julintang selalu mengingatkan orang yang  lewat tentang keagungan sejarah. Bercat putih, dengan pintu kayu berengsel besi yang telah berkarat. Pagi itu jendelanya sedikit terbuka, mungkin karena engselnya yang memang sudah rusak dan Julintang lupa menutupnya. Dari jendela yang sedikit terbuka itulah terlihat bagimana ruangan berukuran 3x4 itu berisi. Banyak kursi berdebu dan sarang laba-laba dimana-mana, sepertinya Julintang memang sengaja memelihara laba-laba itu. Ya, Julintang memang berpikiran sedikit aneh, berbeda dengan pemikiran masyarakat pada umumnya. Sebuah cermin besar tergantung, sedikit banyak ada retakan di sudut-sudutnya. Cermin yang merupakan bagian hidup dari Julintang.

***

Tetangga mulai berbisik, sudah beberapa hari Julintang tak melakukan kebiasaannya untuk keluar menghiasi malam. Raut wajah ketakutan ditampakkan oleh para ibu-ibu tetangga Julintang. Ketakutan atas hal mistis yang mungkin terjadi dalam rumah sunyi milik Julintang.

Musim berganti hingga kemarau berlanjut hujan. Tetap tidak ada tanda-tanda keberadaan seseorang dari rumah itu. Sebagian dari mereka telah melupakan keberadaan Julintang, bagi mereka Julintang sudah hilang, entah kemana bukan urusan mereka lagi. Sebenarnya sudah banyak tetangga yang menyelidiki isi rumah itu dan dimana Julintang sebenarnya, tapi nihil, orang-orang dewasa yang menyelidiki rumah itu tak pernah menemukan Julintang. Mistisnya lagi, anak-anak yang sedang asyik bermain di sekitar rumah itu sering melihat Julintang yang berdiri dengan tatapan menyeringai, menakutkan. Hingga anak-anak itu berlarian karena takut, dan sekarang tidak ada lagi orang tua yang memperbolehkan anaknya untuk bermain di sekitar rumah mengerikan itu.

***

Malam itu malam Jum'at, Julintang tiba-tiba muncul dari dalam rumahnya, berteriak tak henti tapi lantunkan syair-syair yang hebat. Hal itu cukup mencuri perhatian tetangganya yang kemudian mendekap anak mereka masing-masing, khawatir Julintang akan bertindak macam-macam, seperti membawa anak mereka untuk dijadikan tumbal. Bulu kuduk berdiri, Julintang duduk dan menangis keras, layaknya sebuah opera yang menjadi tontonan.

"Tuhan mana? Kenapa jadikanku seperti ini? Kenapa? Mana Laylaku? Aku disini menjadi seorang Majnun, seorang yang gila karna Layla. Tapi Layla tak pernah ada, lalu aku merindukan siapa? Siapa? Tuhan dengar aku Tuhan!!!!"

Benar-benar sebuah opera yang mengejutkan, opera asli tanpa penghayatan palsu. Julintang benar-benar sudah seperti aktor profesional tanpa kursus apapun.

Setelah berteriak-teriak seperti itu, Julintang masuk kembali ke rumahnya dan mengambil cermin yang juga belahan hatinya itu. Membawanya ke halaman rumah, kembali menunjukkan opera tanpa sandiwara.

"Tuhan, diakah Laylaku? Apa iya Tuhan? Apa iya? Kalau dia Layla, siapakah Majnunnya? Mana wajahku Tuhan? Kenapa cermin sekalipun tak bisa menampakkan wajahku? Lalu dimana aku harus mencari? Di genangan air aku hanya melihat Layla. Lalu mana Majnun? Mana diriku Tuhan? Dalam potret aku hanya melihat Layla. Kenapa kau ciptakan Layla tanpa Majnunnya? Kenapa Tuhan?"

Peluhnya bertetesan di atas tanah, menandakan betapa kerasnya teriakan Julintang. Semua orang yang melihatnya terkejut bercampur rasa kagum dan ketakutan. Julintang masih saja bertingkah sebagai aktor bukan dalam panggung sandiwara. Julintang kesakitan, sakit dalam hatinya melebihi sakit dalam sel sel tubuh apapun.

Julintang mengambil pecahan cermin dengan tangannya, secara paksa dia mengambilnya hingga tetesan darahnya mengucur akibat gores dari pecahan cermin itu. Penonton masih belum bergidik, tidak berani meninggalkan tempat masing masing untuk sekedar menghentikan Julintang. Mereka tidak mengerti apalagi yang akan Julintang lakukan, karenanya mereka membiarkan panggung berjalan sesuai skenario. Skenario dari sang Maha Kuasa.

"Tuhan, apalah artinya kau ciptakan Layla tanpa Majnunnya? lebih baik Layla tiada jika Majnun juga tak dilahirkan ke bumi. Apalah daya jika Layla ada tapi tak bisa menemani hidup Majnun? Apakah adil jika sang pecinta sejati tidak dipertemukan? Mengapa tak kau takdirkan Layla dan Majnun seperti cerita antara Adam dan Hawa? Kenapa Kenapa?"

Tetes matanya makin deras, guntur menggelegar semakin menambah ironi opera tanpa microphone itu. Sekejap saja tetes mata Julintang bercampur dengan darah yang mengucur dari pergelangan tangannya. Julintang menggores pecahan cermin itu dengan spontan. Penonton akhirnya menunjukkan reaksinya, mereka berlari dengan maksud menolong Julintang.

Julintang kembali berteriak "Tuhan, kini Layla akan menyusul Majnunnya. Majnun akan menyusul Lailanya. Takkan ada lagi pecinta sejati yang lainnya!" Kemudian dia terkapar lemas tak berdaya dalam kerumunan orang.

***

Sudah tujuh hari semenjak pemakaman Julintang. Seorang gadis bercadar datang ke makamnya. Setelah melafalkan beberapa do'a, gadis itu beberapa detik melepas cadarnya, dan mencium batu nisan Julintang. Penjaga makam merasa aneh dengan kelakuan gadis ini, sebelumnya jarang sekali ada orang yang mau mengunjungi makam Julintang dan memberinya kelakuan lebih dari sekedar menebar bunga atau membacakan surat-surat pendek. Penjaga makam masih melihat apa yang perempuan itu lakukan di makam Julintang. Setelah menciumi nisan Julintang, ia menangis sesenggukan dan berbisik lirih, suara itu tak bisa didengar oleh penjaga makam. Namun setelah itu dia meninggalkan sepucuk surat, mungkin dengan harapan Julintang bisa membaca isi surat itu meskipun di alam yang berbeda.

***

"Julintang, aku tahu kita terlahir bersamaan. Dalam hari, jam, dan menit yang sama. Hanya detik yang membuatnya berbeda, tapi ternyata detik itu berkata lain. Aku tidak menyangka detik itu mengantarkanmu datang lebih cepat menyambut kematian. Bukan hanya waktu saja, tapi rahim yang sama telah berhasil menyatukan kita. Bahkan kita berada dalam satu tubuh, satu raga dengan dua jiwa di dalamnya. Seharusnya kita selalu berada dalam sepikiran juga bukan? Tapi maafkan takdir Julintang, takdir yang mengubahmu jadi membenci waktu. Darah kita mengalir dalam satu tubuh selama beribu-ribu menit, hingga akhirnya dokter berhasil memisahkan kita. Entahlah aku tidak tahu harus senang atau harus sedih. Beberapa tahun kita hidup bersama, kau sangat menyenangi syairmu dan sangat mengidolakan majnunmu. Tapi kenapa? Kenapa kau munculkan perasaan tak pantas itu padaku? Aku saudaramu sendiri. Bahkan cermin sulit untuk membedakan kita, karena itulah aku menutupnya. Aku minta maaf jika aku yang membuatmu begini. Kau masukkan Majnun dan Layla bersamaan dalam tubuhmu, sampai-sampai kau kehilangan satu aset berharga dari dirimu. Akalmu. Itulah hal yang paling dibenci waktu, hingga ia membunuhmu dengan tanganmu sendiri. Dengan bayangku yang kau anggap sebagai pengantar kematianmu.

Julintang.
Berbahagialah disana.
Ini bukan akhir seperti kisah Layla dan Majnun. Mereka bukan saudara, cinta mereka halal dan diperbolehkan. Tidak seperti kau dan aku..."