Total Tayangan Halaman

Rabu, 25 Januari 2012

Persahabatan Abstrak Komplementer w/ @permatapia

to @permatapia

halo put
sebenarnya karena sudah kelelahan mencari tujuan untuk suratku, kali ini surat ini untukmu. Kau tak keberatan kan?
Ah aku bingung harus menulis apa, bukan hanya karena gender kita sama, jadi aku tidak bisa berkata-kata indah untuk merayumu, tapi karena kau sudah tau bagaimana seluk beluk diriku.

Sudah tiga tahun kita saling mengenal, dalam, luar, baik, buruk tentang segala hal. Hobi, kesukaan, kebiasaan dan tentu saja asmara. Kita mencari belahan hati masing-masing meskipun seringkali tidak terwujudkan dengan baik. Haha, sungguh gila.

Berawal dari pertemuan takdir yang menempatkan kita dalam satu kelas yang sama, berlanjut dengan pembicaraan tentang kaskus dan segala macam hal. Hingga terajut sebuah persahabatan meski tak pernah diresmikan. Persahabatan abstrak dua wanita yang sedikit 'gila'.

Kita punya hobi yang sama, tapi selera yang berbeda. Bukankah kita akan berusaha untuk jadi penulis yang hebat? Atau kita akan jadi jurnalis? Aku akan jadi penulis dan kau fotografernya. Itu impian kita tahun lalu kan? Saat kita sama-sama berambisi untuk mengikuti lomba itu. Berbagai cara kita lakukan untuk bisa meloloskan diri dari seleksi luar biasa itu, tapi hasilnya nihil. Kita belum beruntung kawan. Sudahlah, akhirnya kita hanya tertawa mengingat kenangan itu. Kenangan yang kita simpan di sebuah kotak maya di pojok hati kita masing-masing. Kotak kenangan itu akan kita buka kelak, saat kita sudah memiliki kebahagiaan masing-masing.

Ingatkah saat kita pergi ke KUA bersama? Sedikit gila. Kita akan menikah dini kan Put? Haha tentu saja tidak. Kita hanya mengunjunginya untuk suatu keperluan.

Kelak kita akan pergi ke KUA bersama, membawa pangeran berkuda masing-masing. Berkuda? tidak, dia hanya akan membawa kita dengan motor sederhana penuh cinta. Apakah kita akan menikah dengan cinta kita di masa SMA? Wkwk sudahlah aku ngelantur, aku berpikiran terlalu jauh.

Put
Kita teman komplementer. Saat makan bersama, tidak mungkin ada makanan yang tersisa. Aku akan makan apa yang kau tidak mau dan kau akan makan apa yang aku tidak mau. Haha. Dasar!

Put
Beberapa bulan lagi sepertinya kita akan berpisah cukup jauh. Jurusan yang kau ambil sudah terlihat sangat berbeda denganku. Kelak kita akan punya teman masing-masing, apakah pujaan hati masing-masing juga? Hahaha.

Persahabatan abstrak komplementer ini tak akan sanggup dituliskan secara lengkap dimanapun, tak akan sanggup juga diceritakan lewat lisan. Persahabatan ini hanya akan bisa dikenang sendiri. Bagaimana saat kita memiliki pujaan hati dengan nama yang sama hingga kita sendiri sering salah paham dalam bercerita. Haha

Jaga selalu Persahabatan Abstrak Komplementer ini bersama ya! ;)

indrik

Minggu, 22 Januari 2012

Kepada Teman Masa Lalu

halo teman, terima kasih ya masih hadir disini, masih bisa berbicara denganku tanpa harus terpisahkan oleh jarak yang menjemukan itu.
memang sulit mencari teman yang benar-benar memahamiku dari beberapa tahun silam, tapi terima kasih kau tak tergantikan. Kau tetap seperti dulu, meski kini keadaannya berbeda. Meski tak dipisahkan oleh jarak, tapi kita tetap tak sering berjumpa. Walau masih ada di satu kota yang sama, seakan ada kutub senama dalam magnet di diri kita masing-masing.
Menghela nafasku, masih rasakan kebagiaanmu. Bersatu menyatukan rasa yang kita punya. Engkau mengertiku sebagaimana aku mengertimu, walau kita jarang bicara sepatah dua patah kata. Tapi sepatah kata saja aku ucap, engkau sudah mengertikan maksudku. Itulah kenapa aku tidak ingin kehilanganmu. Sejuta quote tentang sahabat, teman dan apapun selalu berbeda dengan kenyataan. Kenyataan selalu lebih indah.
Sepatah kuucap, sedahan kau jawab. Kau memang hebat kawan. Tak pernah ragu bisikkan katamu tentangku. Segala kekurangan yang belum bisa dikecap kawan lain yang baru saja mengenalku, kau ucap dengan gamblang di depanku. Membuatku lega membicarakan semua halnya tentangku, lidahku berucap tak kunjung berhenti.
Terima Kasih teman masa lalu. Selamanya kita akan jadi teman. Bukan hanya di masa lalu :)

Sabtu, 21 Januari 2012

Tujuh Juli Kita kan Jumpa @ITS_Surabaya


Sayangku Sepuluh November..

Aku berharap penuh bisa memakai baju pemberianmu, baju gagah pertanda engkau sudah jadi milikku. Baju berwarna biru gelap yang engkau beri nama jas almamater. Aku tahu, itu bukan baju yang indah, atau perancang desainer terkenal, tapi baju itu akan jadi penuh makna di hatiku. Terkenang, selamanya.

Memujamu sudah jadi makanan sehari-hari, tak sedetikpun aku melupakanmu. Membiarkan angan dan mimpiku dipenuhi olehmu. Engkaulah penentu masa depanku. Tahukah betapa berharganya kau bagiku?

Tahukah kamu, aku relakan banyak waktuku untuk pergi bimbel kesana-kemari hanya untuk dapat meluluhkan hatimu?

Tahukah kamu betapa besar perjuangan dan doa yang kuhantarkan pada Tuhan hanya agar Tuhan mau menakdirkan aku sebagai salah satu gadis yang bisa bersaing dengan berjuta-juta orang lain yang juga mencoba untuk mendapatkanmu?

Tahukah kamu bagaimana aku terus menjadi stalker dalam websitemu?

Tahukah jika aku menuliskan namamu dalam Resolusiku?

Tahukah kamulah masa depanku..?

Sepuluh November..
Bukan kesalahan kan jatuh hati padamu?
bawalah hatimu untukku..
disini, untuk kucintai..

Tujuh Juli kita kan satu
Tujuh Juli kau akan menuliskan namaku menjadi bagian darimu
Tujuh Juli akan kau buat aku sujud syukur kepada Tuhan
Tujuh Juli, tanggal penuh pengharapan

22 Januari 2012
Pengharapan Gadis Kecil Menjelang SNMPTN


Judul


                Malam ini aku kembali berkutat dengan laptopku, sekedar membuka-buka internet untuk menemukan sesuatu yang menarik. Hingga kemudian mataku terpaku pada sesuatu, sebuah poster elektronik yang berisi pengumuman tentang sebuah lomba membuat cerita pendek yang berhadiah lumayan besar. Lumayan, pikirku. Aku bisa membantu kedua orangtuaku yang bahkan harus membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidupku.

                Aku memang bukan seorang yang ahli membuat karangan, tapi apa salahnya mencoba? Apalagi aku hanya membutuhkan modal koneksi internet dan membuat sebuah cerita pendek. Meskipun aku tidak pernah membaca novel-novel bestseller terbaru, tapi aku cukup sering mengunjungi perpustakaan kota yang terletak beberapa meter di samping rumahku. Setidaknya aku punya modal perbendaharaan kata yang cukup.

Tapi apa yang harus kutulis? Satu jam berlalu begitu saja, aku tetap termangu melihat laptop dan tak kunjung mengetikkan sesuatu yang berharga. Sebenarnya aku hanya membutuhkan suatu asupan, yaitu judul. Entah kenapa menentukan judul sangat sulit bagiku. Mengarang bebas memang terlalu sulit, menurutku lebih mudah membuat cerita pendek yang sudah ditentukan judulnya. Huh.

Hingga handphoneku berdering menandakan ada suatu pesan baru masuk. Aldy, seorang temanku yang juga sedang bingung lantaran dia juga ingin mengikuti lomba cerpen itu. Dia bilang baru mengetik judulnya saja, sontak aku terkaget. Sepertinya dia satu langkah lebih maju dariku. Akhirnya aku menyuruhnya memberikan ide bagi judul cerpenku, dia bilang judulnya adalah “Judul”.

Aku kaget menerima judul itu, tapi dengan “Judul” itu aku tiba-tiba menemukan sebuah rentetan cerita yang menarik! Cerita ini benar-benar lain daripada yang lain, aku berharap besar untuk kemenangan cerpenku kali ini. Judul, bawalah aku kepada kemenangan. Bisikku perlahan di setiap do’aku untuk Tuhan.

Beberapa hari berlalu, surat penanda kemenanganku tak kunjung dikirimkan oleh pak pos. Ah mungkin memang bukan nasib mujurku untuk menang kali ini, batinku. Sampai beberapa minggu tak ada kabar, akupun sudah melupakan cerpen itu. Aku anggap memang bukan aku pemenangnya.

Tepat satu bulan kemudian, seseorang meneleponku, orang itu mengaku pemilik suatu perusahaan penerbit buku. Aku langsung terkaget-kaget dibuatnya. Sebenarnya aku tak langsung percaya, tapi orang itu bilang dia sangat tertarik dengan cerpen berjudul “Judul” yang aku kirimkan itu. Akhirnya aku percaya, kalau dia bukan orang di balik lomba cerpen itu, bagaimana di bisa tahu “Judul” yang aku kirimkan? Beliau akhirnya mengajakku untuk bertemu di salah satu restoran di kotaku. Aku menyetujuinya dan berharap besar aku bisa menjadi seorang penulis terkenal.
***

Hari itu adalah hari yang ditentukan, dengan semangat membara dan kepercayaan diri yang tinggi aku datang lebih awal ke restoran itu sebelum waktu yang ditentukan. Aku tersenyum tanpa henti dan anganku terus melambung andaikata aku menjadi seorang penulis terkenal, aku akan bisa membahagiakan kedua orangtuaku, dan aku juga bisa membanggakan diri kepada guru Bahasa Indonesia serta teman-temanku. Ah indah sekali.

Beberapa menit kutunggu, tak juga datang si bapak itu. Mungkin beliau mengalami kemacetan di jalan. Aku terus berpikir positif sambil meminum segelas teh yang telah kupesan beberapa menit yang lalu. Lama sekali, tapi aku tetap tabah menunggunya.

“Hei, nak. Maaf sudah menunggu lama.” Seseorang datang dari arah belakang dan memukul pundakku.

Rasa bahagia menyeruak di dadaku, akhirnya kesempatanku menjadi seorang penulis terbuka lebar. Terima kasih Tuhan. Kemudian aku menoleh ke belakang.

“Huahahhahaha.” Orang itu tertawa.

Aku kenal wajah itu, Aldy. Sial, aku tertipu!
***

Kulihat Lirihan Suara


Diandra. Di tengah lesung pipit manismu yang teraba, mendamaikan setiap senyap yang merambati dinding-dinding hati. Di sisi maya aku bisa melihat, meski hanya mimpi yang takkan pernah menjadi nyata. Berteman dan bernyanyi dengan angin malam tanpa merasa takut kehilangan. Di sini terngiang sejuta kata hibur, meski tak pernah terasa mudah sejak aku lahir.

***

Tangis untuk pertama di dunia merekah, ditempa bumi yang terasa mengerikan. Riuh ucap syukur terdengar di tengah gelap yang meraba asaku. Terasa gelap meski aku belum mengenal apa itu cahaya. Adzan dengan indah terkumandang di telingaku, sejak itulah kukenal Tuhanku.

Matahari yang tak pernah bersinar. Tapi keindahannya berkilauan dalam anganku. Dialah matahari, orang paling baik di dunia yang kupanggil 'ibu'. Dengan sabar dia merawat dan menjagaku. Kecantikannya melebihi apapun di dunia. Meski tak pernah kutahu bagaimana wajahnya, tapi keindahan suaranya berhasil melelapkan tiap tidurku. Namun sayang, matahariku hanya hadir untuk waktu yang berjarak kilatan guntur dalam hujan deras.

Beberapa bulan semenjak Tuhan meniupkan ruhku ke sini, kebenaran mulai terkuak. Bagai petir di siang bolong, orangtuaku menghadirkan sosok yang berbeda 180 derajat kala itu. Sejak kenyataan mengatakan bahwa aku tak akan pernah bisa melihat wajah sayu mereka. Seakan ditempa ombak tapi tak berasa linglung, terasa sangat menyedihkan.

Hari itu. Hari dimana aku merasakan seperti dibawa menuju suatu tempat. Aku pikir, hanya tempat yang biasa-biasa saja. Aku tersenyum. Tersenyum tanpa pernah bisa melihat wajahku sendiri, itu salah satu hal menyakitkan yang terjadi dalam satu tahun pertama hidupku.

Tempatnya hening, tapi terasa sangat menenangkan. Aku diletakkan di sini, kukira sekedar untuk waktu yang singkat. Mereka bilang aku harus duduk di sini untuk beberapa saat, diam dan tidak nakal. Lalu aku merasakan mereka pergi meninggalkanku.

Sejenak demi sejenak aku merasa sendirian, menangis dengan harapan kedua orangtuaku akan segera datang menjemputku. Haus dan kelaparan mulai melanda badanku yang masih kecil ini . Semenit aku menangis, aku belum merasakan tanda-tanda kedua orangtuaku di sebelahku. Dua menit, tiga menit, dan berpuluh-puluh menit hingga aku rasa aku lelah menangis. Aku ingin berjalan, tapi tak tahu arah. Bahkan aku tak tahu sekarang sedang berada di atas apa, entah bebatuan, tegel, keramik, ubin, atau apapun yang aku belum mengerti.

Beruntungnya tangisan itu memanggil seorang wanita baik yang kemudian membawaku masuk dengan suara lembutnya. Suaranya mengingatkanku pada suara seseorang yang kusebut ibu. Wanita itu menanyakan pertanyaan yang sebagian besar aku jawab tidak tahu. Dia malaikat, teman saat aku setia menanti kapan ibu dan ayahku akan datang menjemputku. Penghibur hati seorang anak kecil kebingungan yang sedang menunggu kedua orangtuanya datang menjemput.

Hari demi hari kulewati di tempat ini bersama malaikat itu, aku menyebutnya Bibi Ros. Disini aku hidup dengan banyak anak lainnya, teman-teman yang memiliki nasib hampir serupa denganku. Mereka benar-benar tegar, karena itulah aku malu jika aku berbeda dengan mereka. Dengan sabar mereka mengajariku berjalan, sedikit demi sedikit aku berhasil berjalan dengan keterbatasan ini. Sampai akhirnya aku berhasil berjalan dengan lancar, terima kasih kawan.

Entah berapa tahun sudah aku disini, sedikit demi sedikit melupakan sosok yang kusebut dengan ibu dan ayah. Mengharap kedatangan mereka untuk kembali menjemputku yang kini hanya jadi harapan kosong. Memori yang menyimpan suara mereka juga sudah hilang bersama angin lalu. Aku punya kehidupan baru disini, bersama teman-temanku yang sangat baik, termasuk Diandra. Gadis yang memiliki hati selembut sutra, tangan seperti malaikat, dan suara yang bisa membuat orang tuli mendengarkan suaranya. Wanita sempurna tanpa keterbelakangan apapun. Satu-satunya yang membuatku ingin memfungsikan organ penglihatanku ini, wajah Diandra.

Suara Diandra dapat menggetarkan malam yang selalu menghantuiku, berpacu ikut bersama dengan kedewasaanku yang semakin hari makin mengejarku. Melancarkan setiap desir aliran darahku ketika aku di dekatnya.

Tapi sayang, kini semua telah sirna, senyap dilahap waktu. Diandra tak ada lagi disini. Entah dimana dia berada, mungkin sudah menjadi wanita sukses yang diperistri oleh seorang usahawan tampan kaya raya. Ah Diandra, andaikan engkau tahu bagaimana kupendam rasa ini begitu dalam dan menyusup menempati setiap bagian hatiku yang kosong.

Kini aku telah menjadi pengganti Bibi Ros disini. Beliau sudah tua dan teman-temanku yang juga dirawat olehnya pergi satu-persatu, hanya tinggal aku yang setia mengurus beliau. Sekarang aku yang sering menemukan anak-anak tak bertuan, yang terkadang kupungut dari jalanan, atau diletakkan tepat di depan pintu rumah ini. Entah bagaimana pola pikir orang yang tega membiarkan anak-anaknya menjadi tak bertuan seperti ini. Seperti nasibku yang kuharap tak akan terjadi lagi pada seorangpun di dunia. Sakitnya mengharap kepalsuan dan ditinggalkan begitu saja oleh orang tuaku, begitu dalam membekas disini.

Menjalani kehidupan bersama anak-anak kecil begitu menyenangkan, mereka seakan memiliki angan besar yang akan mereka wujudkan kelak. Memiliki banyak cita-cita yang seakan sudah pasti akan bisa mereka wujudkan kelak. Tapi kebahagiaan itu sedikit tercoreng oleh kesedihan yang selalu menyelimuti saat aku bertemu dengan bayangan Diandra yang semakin hari semakin kurindukan. Ah Diandra, aku pasti cemburu melihat bagaimana suamimu.

Ya Diandra, aku tahu kau tidak akan memilihku. Karena aku tidak akan bisa menatapmu dengan tatapan sayang, membelai rambutmu tepat sasaran, atau mengoreksi tampilan bajumu di kala kau membutuhkannya. Diandra, maafkan aku.

***

Kriiing!!!!

Telepon di panti asuhan ini berdering, membuat lamunanku terbuyarkan. Harapanku naik. Terselip satu harapan bahwa Diandra akan menelepon kesini. Diandra, sebegitu besar aku merindumu. Apalagi suaramu, itu adalah hal menyejukkan yang sangat kudambakan. Pengobat semua rasa sedih yang tertambat dalam hati.

Segera saja aku terkesiap kala orang asing dalam telepon mengatakan bahwa seorang wanita menjadi korban tabrak lari, dan wanita itu tidak membawa identitas apapun kecuali secuil kertas berisi nomor telepon tempat ini. Deg. Jantungku berdegup kencang, apa itu benar kau, Diandra?

Dalam hitungan menit, aku sudah siap untuk segera pergi ke rumah sakit tempat wanita itu berada, kini secuil harapan lagi-lagi naik tahta, meskipun ini bukan waktu yang tepat. Pertempuran hati dimana jika itu Diandra, apapun keadaannya tetap akan menjadi pelipur kerinduanku terhadapnya. Tapilah aku tidak tega jika kecelakaan itu akan berakibat fatal. Diandra, sepucuk do'aku untukmu.

Aku mengalami sedikit kesulitan dalam perjalanan. Mereka mendorongku kesana-kemari. Dasar orang-orang tidak berpendidikan! Gerutuku dalam hati. Belum selesai mereka mendorongku, kata-kata makian mereka lontarkan untukku. Astaghfirullah! punya salah apa aku pada mereka. Aku terus diam hingga lama-lama aku berada di titik paling muak dan segera turun dari bus kota yang kutumpangi. Huh.

Menyusuri jalan bukanlah hal yang mudah bagiku. Bisingnya suasana ibukota semakin membuatku pusing, ditambah kendaraan yang berlalu lalang kesana kemari, membuatku harus lebih berhati-hati menajamkan mata hati yang kumiliki. Aku merasa tidak enak, sepertinya ada beberapa pasang mata menatapku tajam. Mungkin anak-anak kecil yang tidak biasa melihat tuna netra sepertiku berkeliaran di jalanan seperti ini. Tapi apa boleh buat, rumah sakit tidak jauh lagi dari sini. Menaiki bus lagi pun sudah tanggung. Sudahlah, hanya beberapa meter lagi dari sini. Aku hanya perlu berjalan selama beberapa menit.

Akhirnya menit-menit penuh harapan itu membawaku sampai di Rumah Sakit. Diandra, apakah kau benar-benar ada disini? Kenapa hawa keberadaanmu semakin menusuk tulangku bersamaan dengan dinginnya udara di sini? Diandra, dimanapun kau. Aku harap kau baik-baik saja.

Diandra. Diandra. Tak hentinya kau berlari kesana-kemari dalam pikiranku. Menampakkan senyum maya imitasi karena sebenarnya tak pernah sekalipun aku pernah melihat senyuman itu. Tiba-tiba aku merasa semakin bodoh, tak sepantasnya orang buta sepertiku memujamu, Diandra. Gadis jelita tanpa cacat sedikitpun.

Anganku tentang Diandra melayang bersama langkah kakiku menuju ruangan tempat wanita itu berada. Tepat di pojok ruangan, aku berhenti. Meraba pintunya dan menemukan angka 6. Inilah kamarnya.

Perlahan aku memasuki ruangan itu, pelan tapi pasti wangi tubuh Diandra benar-benar terasa menyengat. Masuk melalui hidung terhirup hingga ke ujung alveolusku. Diandra, benarkah itu kau?

Mataku meraba rambut, ke hidung hingga turun ke bibir. Diandra, ini benar-benar kau. Kupegang tanganmu, kehalusan yang sama persis seperti tangan yang kupegang beberapa tahun lalu, saat kita bermain bersama di suatu taman bermain dekat panti asuhan. Diandra, apakah ini benar-benar kau? Bagaimana keadaanmu?

            Menit demi menit berlalu dengan kerinduan yang sudah lumayan terobati. Aku terus duduk dan menunggu kedatangan seorang lelaki pembawa kabar yang acapkali disebut “dokter”. Bukan main perkataan yang keluar saat dokter itu mendatangi kamar Diandra, dimana aku sedang duduk di kursi kecil di dekat ranjangnya. Dokter bilang, ada sesuatu yang buruk terjadi pada pita suara Diandra.

***

            Diandra. Tengah malam ini aku terbitkan mentari dari ufuk matamu, sayu semu tak bertepi dan tak sanggup diucapkan dengan kata. Kini dendang suaramu tak bisa lagi kudengar. Aku tak bisa melihat dan kau tak bisa bicara. Betapa sulit untuk kita berkomunikasi? Tapi pertanyaan itu tergerus dengan kenyataan bahwa kita bisa melakukan semua itu dengan hati. Semua alat indra yang tak berfungsi dapat difungsikan oleh hati. Dua hati yang saling tertaut menjadi suatu simfoni.

***

            Jangan lagi menangis, Diandra. Tatap mataku meski aku tak bisa menatapmu. Dengar suaraku dan tak perlu kau menjawabnya. Aku tak akan keberatan Diandra, kau hanya perlu mendengarkan semua ocehanku, kalaupun aku harus selalu menjadi pembicara dalam setiap pertemuan kita, aku tak akan keberatan. Cinta tak harus diperlihatkan dan diungkapkan, ya kan, Diandra?

            Aku harap kamu tak lagi sedih, Diandra. Jangan lagi tangisi kepergian lelaki tak bertanggung jawab itu. Dia meninggalkanmu karena sekarang pita suaramu tak bisa lagi bergetar. Ia merasa kehilangan senandungmu yang dulu selalu menemaninya berbalut dengan mimpi. Hanya gara-gara kau bisu, dia meninggalkanmu. Dia tidak mencintaimu, Diandra. Dia hanya menyenangi pita suaramu, karena itulah saat waktu bertindak kejam pada pita itu, tanpa basa-basi dia meninggalkanmu dan tak pernah sekedar mengucap kata permisi sebagai kata terakhir penutup hubungan kalian.

            Lihat aku disini, satu-satunya orang yang bisa mendengarkan suaramu saat ini, bahkan tanpa telingaku. Tapi disini aku bisa mendengarnya, di sudut mati dimana aku selalu berharap bisa mengucap kata berharga penuh arti dan menyerahkan maskawin untuk menebusmu.

            Aku mencintaimu Diandra, tanpa pernah lisanku mengucap sesal.
***
            Hari itu tiba, kebahagiaan menyeruak diantara kami. Meski diiringi cemooh bahwa orang-orang dengan keterbatasan seperti diri kami tak akan bisa hidup bahagia bersama. Aku tak peduli, karena ketersediaanmu mendampingiku disini sudah merupakan kebahagiaan tersendiri bagiku. Terima kasih. Aku janji aku akan membahagiakanmu.

***

Karpet merah digelar di depan gedung mewah ini, banyak lelaki mengenakan jas hitam dan gadis-gadis cantik tersenyum penuh makna. Dengan takjub aku menghela nafas sambil memegang rentetan huruf Braille berisi tulisan tentang keadaan di luar gedung itu. Ya inilah yang menjadi rutinitas kita, dimana kau tuliskan huruf Braille untuk mewakilkan penglihatanku yang ada pada bola matamu, dan aku ucapkan suaramu yang ada dalam lidahku. Kita telah menjadi satu, Diandra. Satu bagian tubuh yang saling melengkapi satu sama lain.

Diandra, lihat hasil kerja keras tangan kita. Aku akan melihatnya di balik matamu dan kau akan mengucapkan syukur dengan lisanku. Meski bebatuan terjal mengganggu langkah kita. Kita telah berhasil Diandra. Menunjukkan pada dunia jika orang buta dan bisu bisa mengubah takdir mereka. Takdir untuk tetap bahagia dan hidup tanpa keterbatasan. Karena jika kita bersama, kita bisa membobol batas tak berguna itu. Ingat satu hal Diandra, kita tidak cacat, hanya saja kita kurang sempurna.

Kuraba bibirmu dan kutemukan sebuah sunggingan senyum penuh kebahagiaan. Tanpa melihatnya, aku tahu. Kau bisikkan kebahagiaan lewat senyum itu. Aku bisa melihat Diandra. Aku bisa melihat lirihan bisikmu.

            Aku mencintaimu selamanya, Diandra.

Dingin yang Menghangatkan


Dia selalu ada di sampingku, kehadirannya selalu mententramkan hatiku. Dia ada dalam hening malam, terik siang, dan jingga senja. Meski terkadang sebagian besar dari mereka menolak kehadirannya, bagiku dia selalu ada, hidup dan berada di sini, di sampingku.

            Siang itu begitu terik karena sinar matahari tak kenal lelah menyinari bumi. Tanaman-tanaman seakan tersenyum karena mereka bisa kembali menjalankan aktivitasnya sebagai produsen bagi makhluk hidup yang lain. Begitu pula dengan hewan-hewan yang berkeliaran di jalanan, mereka tak mempedulikan teriknya sinar matahari. Malah, di dalam hati, mereka bersyukur bisa tetap menikmati tanaman hijau yang segar. Namun berbeda halnya dengan manusia yang selalu mengeluh dengan semua itu. Sinar matahari membuat dunia semakin panas. Tapi kehadiranmu yang selalu ada di sampingku membuatku sejuk setiap saat, terima kasih ya.

            Lagi-lagi hari ini teman-teman menatapku dengan tatapan aneh di kelas. Mata mereka melihatku tajam, seakan ada guratan rasa benci di dalamnya. Mereka selalu begitu ketika aku berbicara denganmu. Entahlah, mereka tak pernah mau mengobrol denganmu. Aku rasa karena kamu terlalu pendiam. Aku juga heran, guru-guru juga tidak pernah mau memanggil namamu ketika mereka mengabsen nama-nama semua anak di dalam kelas. Seringkali aku merasa kasihan denganmu, tapi kamu selalu mengatakan kamu telah terbiasa dan semua akan baik-baik saja.

            Hari itu mamaku akhirnya pulang setelah sekian lama beliau tak kembali ke rumah. Aku sangat menyambut kedatangannya, ya meskipun dengan sedikit terpaksa. Namun, aku kecewa karena beliau langsung marah padaku ketika aku memperkenalkanmu. Aku rasa tidak ada yang salah dalam caraku memperkenalkanmu pada mama, tapi kenapa beliau malah marah-marah dan meninggalkanku tiba-tiba? Gurat senyumnya yang halus itu mendadak hilang ketika aku memperkenalkan siapa kamu dan aku mengatakan bahwa aku menginginkanmu untuk menjadi pendamping hidupku. Tapi sadis, beliau malah mengatakan aku sudah gila. Apa mungkin karena beliau merasa aku berpikiran terlalu dewasa dengan menginginkanmu sebagai kekasih terakhirku? Ya, mungkin aku sudah gila karena sudah berpikiran sejauh itu dan aku sama sekali tidak mau jauh dari sosokmu.

Sore itu tanpa sengaja aku mendengar mama menelepon papa dan menyuruh agar papa segera pulang. Papa? Oh, bahkan aku lupa jika aku masih memiliki seorang papa. Aku sudah lupa kapan terakhir kali aku melihatnya. Aku juga sudah melupakan namanya, sedih sekali ya. Menyedihkan sekali memiliki papa seperti dia. Ah aku jadi menangis lagi teringat ayahku. Tapi, lagi-lagi kamu datang tiba-tiba di waktu yang tepat. Entah dari mana asalnya, kamu datang saat angin pelan menghembus di sela-sela rambutku, membuatku terpana dan tergerus dalam impian-impian kosong tanpa jawaban.

“Papamu menyayangimu seperti bisik malam dalam riuhnya hujan yang turun dari langit ke bumi, tak pernah terdengar dan tak pernah terlihat.” bisikmu.

Ingin aku menyela perkataanmu, tapi rintihan suara dedaunan membuat mulutku terkunci. Tak kuasa membiarkan lidahku untuk sekedar memperdebatkan bahwa ada yang salah dalam kalimatmu kali ini. Damai. Aku hanya merasakan damai saat kau di sini. Membuatku lelap dan nyaman, Saat kau mengelus rambutku dalam keheningan senja yang menjadi saksi kesucian antara kau dan aku tanpa pernah ternoda.

Aku mendengar mama mengatakan pada papa bahwa ada sesuatu yang salah denganku. Mama menelepon papa sambil menangis, terisak. Sayup-sayup aku dengar mama merasa bersalah karena telah sering meninggalkanku sendirian di rumah.

            Mama bilang beberapa hari lagi papa akan pulang. Namun tidak ada hasrat sedikitpun untuk bertemu atau sekedar melepas rindu dengannya, dia adalah orang asing bagiku. Bahkan aku cenderung sangat membenci orang asing.

Seperti biasanya, aku pulang sekolah tanpa terburu-buru. Kamu mengantarkanku hingga depan rumah. Aku selalu merasa tersanjung atas kebaikanmu. Terkadang aku mengajakmu sekedar mampir untuk makan siang di rumahku, tapi kamu selalu menolaknya dengan senyuman. Hei aku lupa mengatakan padamu, aku sangat menyenangi senyumanmu. Senyum tulus yang terkadang terukirkan dalam awan yang kulihat di kala senja, Saat aku terhanyut dalam kilauan indah kenangan bersamamu.

            Hari itu, papa tiba di rumah. Tidak lama kemudian aku datang bersama dernyit engsel pintu dan aku merasakan sepasang mata asing menatapku tajam, aku benci tatapan itu! Ada ruas-ruas kemarahan di dalam matanya, membuat emosiku berubah sedemikian hingga aku terpancing untuk ikut memancarkan kemarahan seperti tatapan mata orang asing itu. Tatapan yang benar-benar kubenci.
           
“Berhentilah menatapku! Aku tidak suka tatapanmu!” Bentakku.

            Dia menamparku, lelaki itu tiba-tiba menamparku!

            “Siapa kau? Kenapa kau menamparku? Apa kau pantas disebut papa?” Aku berteriak kepada mata asing itu.

            “Bodoh! Anak siapa kau berani berteriak seperti itu pada papamu sendiri!” Mata asing itu menyeringai kepadaku, mengeluarkan guratan merah memarah.

            “Pergi kau dari rumahku! Kau tidak pantas menjadi seorang papa!” Aku berteriak lantang mengusirnya dari rumahku, hei siapa dia berani memperlakukanku seperti itu!

            “Anak kurang ajar!!” lelaki asing itu bersiap mengumpulkan tenaganya di pergelangan tangan, akan menamparku sekali lagi dengan lebih menyakitkan.

            Segera aku berlari keluar rumah sebelum lelaki itu berhasil mendaratkan tangannya di pipiku yang telah merah ini. Aku berlari sekuat tenaga dan aku menjumpaimu di depan rumahku tapi aku tak menghiraukanmu, aku terus berlari hingga aku lelah. Lelah sekali.
***
Gelap. Mungkin aku kelelahan.

      Aku terbangun dan kamu disampingku, merelakan pundakmu untuk tempat kepalaku bersandar. Ah, aku masih pusing.

            “Ini dimana?” tanyaku.

            Kau diam saja.

            “Ini dimana?” aku kembali menanyakan padamu untuk memastikan bahwa kau benar-benar mendengar pertanyaanku.

            “Aku mencintaimu.” Katamu.

            Aku tersenyum, memelukmu. Aku tidak mengerti, di saat-saat seperti ini kau malah mengatakan hal itu.

            “Sekarang kita sama.” Katamu kemudian.

            “Kita selalu sama. Meski dunia kita memang berbeda.” Jawabku.

            “Dunia kita telah sama.” Katamu datar.

            Kau tersenyum. Aku memandangimu dengan tatapan penuh arti. Apakah kita benar-benar telah sama? Aku menyentuhmu sekali lagi, terasa sentuhan yang berbeda, seakan aku bisa memilikimu. Benar-benar memilikimu.
***
Aku tak pernah pergi darimu
Sehari, semenit, atau bahkan sedetikpun aku tak akan pernah meninggalkanmu
Menjagamu di samping malaikat yang sedang berkutat dengan ‘pena’nya
Terkadang malaikat menegurku
Dia bilang aku harus segera pergi
Tapi aku menolak, aku memohon padanya agar aku bisa terus disampingmu
Akhirnya malaikat memberikan bocoran, dia bilang kau akan menyusulku
Aku sangat senang, namun aku juga sedih
Aku senang karena kita akan bersama lagi
Aku sedih karena engkau akan kehilangan waktumu di dunia
Dunia yang (katanya) indah itu
Tapi akhirnya aku sadar, kau bahkan tidak bahagia di dunia itu
Kau bahagia bersamaku
Hanya bersamaku
***
           


Sudah 2 hari berlalu semenjak peristiwa itu. Mama membereskan kamarku dengan mata berkaca-kaca, jujur aku tidak suka sorot mata mama yang seperti itu. Beliau terlihat sangat sedih dan terpukul. Mama duduk di tepi tempat tidurku, dan oh beliau menemukan sesuatu!

            Mama, aku malu. Beliau menemukan buku harianku! Mau diletakkan dimana mukaku sekarang? Aku mengintipnya dari balik pintu, beruntungnya beliau tidak melihatku. Aku tidak berani masuk, malah sekarang mama mulai membuka buku harianku itu. Ah mama.
***
Senin, 21 November 2011

            Semakin detik semakin aku menambatkan rasa itu, kau memang sungguh mengagumkan! Lagi-lagi hari ini kau lakukan sesuatu yang sangat jarang kujumpai, membuat tatapan matamu terlihat semakin menarik di mataku.

            Kau memang selalu pendiam. Kau duduk sendiri di pojok ruangan, jarang bicara namun selalu terlihat sibuk, entah bersama handphonemu, bukumu, atau laptopmu. Hari ini sepulang sekolah aku terus mengamatimu, aku tidak akan membiarkanmu hilang dari pandanganku selama aku masih bisa mengamatimu dari sudut mataku. Hari ini sepulang sekolah, kau membawa seekor kucing kecil kurus kelaparan yang biasanya berlalu-lalang di depan kelas. Ya kucing itu memang keadaannya sangat mengenaskan, tapi apa iya kau akan membawa pulang kucing itu? Aku sungguh tidak habis pikir dengan jalan pikiranmu.

            Dengan motormu, kau bawa kucing itu sendirian. Kelihatannya kau sedikit kesulitan membawanya, apalagi hari itu mendung dan rumahmu sangat jauh dari sekolah. Aku sebenarnya ingin membantumu, tapi aku bahkan tak tahu bagaimana caranya aku bisa membantumu. Akhirnya aku hanya mengintipmu dari balik pintu kelas. Menunggu kau hilang bersama angin yang membawamu pergi. Tapi lagi-lagi kau berhasil melihatku! Ah kau sungguh menyebalkan dan mengherankan! Indra perasamu begitu kuat, sampai kadang-kadang aku pikir kau mempunyai indra keenam.

            “Bodoh. Jangan mengintip!” Katamu kaku.

            Aku diam saja.

            “Dasar tidak sopan.” Kau menambahkan.

            “Maaf.” Kataku. Aku tidak berani menambahkan kata-kata setelah itu. Aku begitu takut dibuatmu.

            Lalu kau hanya diam dan kembali menatapku dengan tatapan itu, tatapan yang selalu membuatku hanyut dalam pesonamu. Tatapan yang membuat mataku semakin tertarik melihat matamu. Tatapan yang membuatku basah kuyup oleh keringat.

            “Akan kamu bawa kemana kucing itu?” Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya.

            “Rumahku. Kau heran?”

            Sekarang aku yang terdiam. Aku tahu itu bukan pertanyaan yang harus dijawab, bahkan mungkin kau memang menginginkan aku tanggap dan tidak menjawab pertanyaan itu. Tidak lama kemudian, kau berlalu begitu saja di depanku. Aku masih melihatmu, memperhatikanmu hingga kau mulai hilang dari pandanganku. Aku masih saja melihat punggungmu, yang kau tutup dengan seragam putih dan jaket berwarna hitam pekat. Tapi aku sangat menyukainya. Oh ya aku mulai gila karenamu.

            Beberapa detik kemudian hujan turun. Hei? Hujan turun! Aku langsung teringat padamu dan kucing yang kau bawa. Kau tidak mungkin memasukkan kucing itu ke dalam jas hujan bukan? Ah ya kau juga sering lupa membawa jas hujan dalam jok motormu. Tanpa pikir panjang aku langsung berlari mengejarmu. Cukup bodoh memang, aku berlari mengejar motor yang beberapa waktu yang lalu sudah pergi dari sini, ya aku cuma berharap ada keajaiban yang bisa membuat aku masih bisa mengejarmu, mungkin kau harus menunggu di depan sekolah untuk menyeberang, atau kau bertemu temanmu di tengah jalan dan kemudian kau mengobrol dengannya. Ya aku berlari, demi kau! Aku berlari secepat mungkin dengan memikirkan segala kemungkinan yang ada. Untungnya, kemungkinan yang hanya sepersekian persen itu terwujud. Aku benar-benar bisa menyusulmu. Dan, oh aku baru berpikir. Hei untuk apa aku menyusulmu? Bodoh. Aku bahkan belum memikirkan hal itu sebelumnya. Tapi terlambat, ya aku sudah terlanjur sampai di depanmu. Berdiri mencegahmu dengan nafas terengah-engah. Untungnya aku segera mendapat ilham dari langit tentang apa yang seharusnya kukatakan saat itu.

            “Kucingnya aku aja yang bawa pulang. Rumahku dekat dari sini. Ini sudah gerimis, pasti sebentar lagi hujan. Kasihan kucingnya.” Aku menawarkan diri.

            Tanpa basa-basi kau memberikan kucing itu padaku serta tak mengucapkan sepatah katapun dan lagi-lagi kau berlalu begitu saja dengan senyumanmu. Senyuman yang membuatku jatuh hati, senyuman yang selalu kau bawa kemanapun kau pergi dengan sifat dinginmu itu, senyuman yang sanggup mencairkan es yang beku atau melelehkan baja. Tapi lagi-lagi kali ini senyum itu meninggalkanku yang sedang terdiam bersama sepi, sambil menggendong seekor kucing kecil kelaparan yang seharusnya menjadi tanggung jawabmu itu. Bersama rintik hujan yang mulai turun dan menetes di tanganku, bersamaan dengan tetes air mataku yang juga turun karena..aku mencintaimu. Walau seperti apapun kau perlakukan aku, aku mencintaimu, Bahkan semakin mencintaimu.
***
Selasa, 22 November 2011

            Hari ini ulangan fisika, bukan rahasia jika kau sangat menyenangi dan menjadi master dalam pelajaran itu. Bukankah kau bercita-cita akan melanjutkan studimu di teknik sipil? Aku sangat menghargai keputusanmu, ah ya bahkan kau tak peduli dengan pendapatku mengenai cita-citamu.

            Setengah jam ulangan fisika berlangsung, aku cukup pusing dibuatnya. 4 dari 10 soal ini belum kukerjakan sedangkan waktunya tinggal 30 menit lagi. Hh aku hanya bisa mendengus kesal dan berdo’a dalam hati, sambil terus menatap detik-detik jam yang terus berputar. Detik-detik jam yang membuat waktuku terasa semakin sempit. Detik-detik jam yang berharga namun sangat membosankan. Tiba-tiba kau berdiri, meminta ijin untuk keluar kelas kepada guru fisika yang kemudian menanyaimu dengan berbagai pertanyaan yang sangat sulit kudengar. Entahlah, aku tidak tau apa yang mereka bicarakan. Sampai akhirnya kau keluar dari kelas dan hingga ulangan fisika usai kau tak kunjung kembali, meninggalkan lembar jawabanmu di atas meja.

            Guru fisika berdiri dan mengambil lembar jawabanmu. Gawat, batinku. Aku pikir kau belum menyelesaikan soal-soal itu. Kau pergi saat 30 menit ujian tengah berlangsung, mustahil sekali kau bisa menyelesaikan 10 soal yang membuat otakku hampir mendidih itu dalam waktu hanya 30 menit. Tapi samar kulihat pada lembar jawabanmu, hei kau sudah menjawab semuanya. Brilliant! Lagi-lagi tanpa sengaja kau menambahkan sesuatu pada kadar kekagumanku padamu, bodoh.

            Tapi.. Satu lagi yang jadi pertanyaanku. Kemana kau?

            Beberapa menit kemudian kau baru kembali dan muncul dengan wajah bersih berseri, sepertinya kau telah mencuci mukamu, ah aku baru ingat kau selalu berusaha untuk selalu sholat tepat waktu. Sepertinya tadi selepas mengerjakan ulangan fisika, kau keluar untuk pergi ke masjid.

Hmm ya, aku bosan dan aku benci. Aku bosan terus-terusan menggerus keinginanku untuk mengagumimu setiap hari, dan aku benci harus terus menambah kadar kekagumanku padamu setiap hari meskipun aku tak ingin dan kau tak sengaja melakukannya. Aku benci tapi aku tak bisa memungkiri bahwa aku semakin mencintaimu.

Oh ya, hari ini aku membawa kucing yang kau titipkan padaku kemarin. Aku memberikannya padamu saat pulang sekolah. Sebenarnya aku telah memendam keinginan terdalam untuk sekedar bisa bercengkrama atau mengobrol denganmu, tapi kali  ini kau tetap saja dingin. Sedingin es. Aku masih belum mengerti bagaimana caranya melelehkan es itu, aku harus menjadi api untuk mencairkan kebekuan sifatmu itu. Sedangkan aku tak bisa menjadi api. Aku tak akan pernah bisa menjadi api.

Hanya beberapa detik aku memberikan kucing itu padamu, kau tetap diam dan sibuk mengutak-atik sesuatu di laptopmu. Beberapa menit kemudian kau beranjak dari tempat dudukmu dan pergi ke bangku salah seorang teman lelaki, kau membicarakan tentang aplikasi desain grafis dan segala hal mengenai desain dan komputer. Sekali lagi aku semakin kagum padamu, kau tahu segalanya. Bagiku kau seperti gading yang tak retak. Kau manusia sempurna di mataku. Ya sekali lagi aku terlalu berlebihan, tapi entahlah mungkin memang sudah takdirnya seorang remaja yang sedah jatuh cinta akan menjadi berlebihan seperti ini. Tapi kau berbeda. Kau sangat berbeda. Kau bukan lelaki lain yang akan mendekati seorang gadis dengan mengirimkan berjuta-juta pesan singkat berisi gombalan tidak penting dan mengajaknya pulang bersama, kau berbeda. Itulah sebabnya aku sedemikian hebat mengagumimu!

Aku mencintaimu.. Aria..

Meski kau bukan Aria Wiraraja yang pandai mengatur serangan untuk meruntuhkan kerajaan Kediri, bahkan kau bukan seorang pendekar seperti yang ada di film-film.

Meski kau tak akan pernah mengirimkan pesan singkat yang tak penting untukku, ya kau hanya akan mengirimkan pesan singkat yang penting-penting saja.

Meski kau bukan seorang kapten basket atau ketua osis seperti yang banyak diidam-idamkan oleh sebagian besar gadis. Kau tetap berkharisma di mataku.

Meski kau bukan pangeran berkuda yang akan menjemput seorang putri di istananya yang megah dan berpagar tinggi.

Meski aku bukanlah penyair, dan kau bukanlah ahli bahasa

Kau hanya seorang siswa SMA yang mengagumkan, dan aku hanya seorang yang akan selalu mengagumimu apapun yang kau lakukan. Karena menurutku kau takkan pernah salah. Karena menurutku kaulah yang terbaik diantara yang baik.
Aku mencintaimu. Kau percaya?
***
Rabu, 23 November 2011

Takdir memang baik padaku. Hari ini guru tata boga di kelasku memberikan tugas untuk membuat hidangan ala restoran yang enak dan menarik. Beliau membagi murid-murid menjadi beberapa kelompok, dan beruntungnya aku sekelompok denganmu. Kau tahu betapa bahagianya aku? Kadang aku terlalu sulit untuk berhenti menunjukkan bahwa aku mengagumimu. Kau tau? Itu tantangan terberat bagiku.

Kelompokku terdiri dari 6 anak, kami berdiskusi dan rasanya sungguh sulit untuk mengalihkan pandanganku darimu. Untungnya lagi kau terus berbicara bagaimana konsepmu untuk hidangan kami, sehingga semua mata akan tertuju padamu, bukan hanya mataku saja. Namun kali ini suaramu juga terekam dalam memoriku, menambah pasokan rasa cintaku padamu. Bukan gombal. Ini serius!

Akhirnya kami memutuskan untuk membuat hidangan itu di rumahmu, beruntungnya aku bisa ke rumahmu. Aku ingin melihat bagaimana ibu dan ayahmu, dua orang yang berhasil mewariskan sifat-sifat yang mengagumkan dalam dirimu.

Kami sampai di rumahmu, sebuah bangunan indah yang sederhana, tidak terlihat terlalu mewah tapi sangat menarik. Aku rasa orang-orang yang lewat di depan rumahmu pasti akan merelakan beberapa detik waktu berharga mereka di jalan untuk sekedar menoleh dan mengamati betapa menariknya rumahmu, yang berwarna krem dibalut sentuhan coklat yang mengesankan rumahmu seperti rumah kayu yang biasa aku lihat di buku-buku desain eksterior. Papamu memang hebat ya. Sama sepertimu.

Rumahmu tertata rapi sekali meski tak ada pembantu yang membersihkannya. Papa dan mamamu berangkat kerja pagi-pagi sekali dan pulang saat matahari mulai tenggelam. Aku yakin kaulah yang melakukan semua ini. Pasti kau yang membersihkan rumahmu, karena orangtuamu pasti sudah sangat lelah ketika pulang kerja. Adikmu yang masih TK itu juga tak mungkin membersihkan rumahmu hingga sebersih dan serapi ini.

Sayangnya hari itu orangtuamu belum datang saat kami datang ke rumahmu, ya sudahlah mungkin belum saatnya aku bertemu dengan mereka. Sesampainya di rumahmu, kau langsung mengajak kami sholat dan langsung menuju dapur untuk segera membuat hidangan sesuai konsep yang kau berikan. Aku benar-benar mengingat saat itu. Dengan cekatan kau tahu dimana letak semua bahan-bahan dan perlengkapan dapur. Aku malu pada diriku sendiri, aku sangat jarang memasak, dan bahkan aku tak mengerti dimana letak pisau. Kau pimpin kami untuk memasak hidangan istimewa untuk dibawa ke sekolah keesokan harinya. Dengan tegas kau menyuruh masing-masing dari kami melakukan sesuatu agar hidangan itu cepat tersaji dan dengan sangat sabar kau mengajariku yang belum bisa caranya mengiris bawang dengan baik, aku sangat malu padamu saat itu. Rasa malu itu pun membaur dengan rasa kagum terhadapmu.

Akhirnya hidangan telah tersaji, kau juga berhasil memasakkan makan siang untuk kami. Dan, oh Tuhan masakan bikinanmu benar-benar enak! Pantas saja setiap hari kau selalu membawa bekal dari rumah, masakan rumahmu sangat enak. Kau memang berbakat menjadi apa saja. Mungkin gen-gen dominan dari papa dan mamamu semuanya mengalir di dalam darahmu. Kau hebat sekali.

Saking enaknya, aku mengambil terlalu banyak makanan dan kenyang di tengah jalan. Aku merasa tidak enak denganmu, tapi perutku benar-benar sudah tidak kuat lagi. Aku tidak mau muntah. Aku tidak mau memuntahkan makanan selezat ini. Akhirnya aku berhenti, dan dengan tanggap kau melihatku tajam. Ah lagi-lagi tatapan itu.

“Tak sanggup menghabiskan?” tanyamu.

Aku hanya mengangguk pelan dan tidak berani menatap tatapanmu yang seperti itu.

“Sayang makanannya.” Katamu.

Aku masih diam dan menampakkan wajah bersalah.

Kau mengambil piringku dan menghabiskan makanan sisaku, aku benar-benar merasa bersalah kepadamu. Bisa-bisanya kau makan makanan yang telah kumakan sebagian itu.

“Kamu nggak jijik?” tanyaku.

“Kenapa harus jijik? Sayang kalau dibuang. Sebutir nasi menjadi sangat berharga bagi orang yang kelaparan di luar sana.”

Lagi-lagi aku terdiam, mengisyaratkan bahwa aku menyetujui pernyataanmu. Sejak itulah aku berjanji pada diriku sendiri untuk selalu menghabiskan makananku. Itulah kelebihanmu, kau tidak pernah meremehkan hal-hal kecil yang sebenarnya bisa menjadi sangat berharga di mata orang lain.
***
Kamis, 1 Desember 2011

Sudah seminggu tepat aku tidak menuliskan sesuatu di dalam buku harianku ini. Hhh aku terlalu sibuk dengan banyaknya ulangan dan tugas-tugas yang semakin menghimpitku. Padahal setiap hari itu pula akan menjadi sangat berharga bersamamu, aku tidak akan melewatkan satupun kenangan bersamamu terhapuskan karena memori-memori yang lainnya. Setiap putaran jarum jam ke kanan setiap itu pula aku semakin dekat denganmu, setiap itu pula rasa kagum dan rasa cintaku berbanding lurus.

Hari ini putaran jarum jam itu berhenti bagiku. Atau bagimu? Terserahlah bagiku aku dan kamu adalah satu. Aku seperti orang gila melihatmu dibalut selang-selang seperti itu. Ah apa yang kau lakukan sayang? Oh ya aku baru ingat, aku bahkan belum berhak memanggilmu sayang, dulu kau pernah mengatakan padaku bahwa aku tidak boleh memanggilmu sayang sebelum waktunya. Aku tau kapan waktunya. Saat aku dan kau telah menjadi satu menurut hukum dan menurut agama bukan? Saat aku dan kau telah resmi menyatukan hati dan kita bisa bebas berbagi kesedihan bersama? Kau bilang aku tidak boleh membiarkanmu hidup bebas dalam angan-anganku. Kita bukan muhrim, katamu. Tapi tidakkah aku boleh membayangkan untuk bersanding denganmu dalam sebuah tempat yang disebut dengan ‘kehalalan’ itu sekarang? Aku hanya membayangkan. Aku tahu kita tidak boleh merajut asa kita bersama saat ini, Dalam teoripun telah kupelajari, bahwa hal itu memiliki banyak hukum dalam agama kita. Di usia yang labil seperti sekarang ini Tuhan belum menganjurkan kita untuk menikah, karena baik aku maupun kamu masih belum bisa menafkahi diri kita masing-masing. Oh ya, aku tahu aku berpikiran terlalu sangat jauh. Maafkan aku ya.

Oh ya, Aria. Lain kali hati-hati ya saat bepergian. Aku tidak tega melihatmu dalam keadaan seperti itu. Apalagi saat dokter memberitahukan kepada papa dan mamamu dengan wajah bersalah seperti itu. Mamamu langsung menjerit histeris dan berlari masuk ke ruanganmu sambil menangis. Aku berjalan pelan mengikutinya dari belakang. Aku lihat alat itu menunjukkan suatu garis lurus dan berbunyi keras yang sangat memekakkan telinga. Aku benci suara itu. Suara itu mengingatkanku pada kejadian beberapa tahun lalu, saat Tuhan mengambil nyawa ayahku dulu.

Ah sudahlah aku tidak mau mengingat saat itu lagi. Beberapa saat setelah itu keluargamu berdatangan. Kau kaget karena banyak keramaian di sebelah tempat tidurmu, lalu kau terbangun dari tidurmu, kemudian kau mengajakku keluar dari rumah sakit dan menggandeng tanganku. Hei ada apa denganmu? Sebelumnya kau tidak pernah sama sekali menyentuhku.

Hari itu kita habiskan bersama-sama dengan duduk di tepi danau kecil dekat rumahku. Aku rasa ini benar-benar seperti yang ada di film-film. Tapi ini nyata, entahlah kau sangat berbeda hari ini. Kau kembali tersenyum dan menatapku, tapi aku rasa ada sesuatu yang berbeda darimu saat itu.

Apa akal sehatku hilang?

Aku tak peduli, yang penting aku bahagia bersamamu hari ini. Kau menemaniku hingga aku sampai di depan rumahku. Mencium keningku dan melambaikan tanganmu padaku. Bersamaan dengan tenggelamnya matahari di belakangmu, aku melihat senyummu yang terakhir hari itu. Berbeda, namun tetap indah. Terima kasih, bisikku dalam hati.
***
Jum’at, 2 Desember 2011

Aku pergi ke sekolah seperti biasanya, bahkan aku sangat gembira jika mengingat hari kemarin. Kau benar-benar berubah.

Sesampainya di kelas, aku melihat teman-teman sekelas sedang menangis terisak. Mereka memelukku sambil mengatakan bahwa aku harus tabah dan sabar. Aku tidak mengerti maksud mereka, tapi tiba-tiba saja aku takut berada di dalam kelas. Aku merasakan sesuatu yang sangat aneh. Aku tidak suka melihat banyak orang menangis, itu kembali mengingatkanku pada ayahku. Langsung saja aku pergi keluar kelas untuk mengasingkan diri ke musholla putri. Disana aku menangis terisak mengingat wajah ayahku.

Beberapa jam kemudian setelah tenang, aku kembali ke kelas. Namun kelas telah kosong, ah apa mungkin hari ini memang bukan hari efektif KBM? Ya, akhirnya aku memilih untuk langsung pergi ke lapangan parkir untuk mengambil motorku. Kemudian pergi ke suatu restoran yang cukup sepi, sangat cocok untuk menenangkan pikiran. Sesampainya disana, aku melihatmu. Wow, ini sungguh kejutan. Kau bilang kau mengikutiku sejak di sekolah tadi. Kau terus memanggilku tapi aku tidak mendengarmu. Aku sangat gembira, hari ini akan kuhabiskan bersamamu lagi.

Kami makan sambil membicarakan hal apapun yang bisa kami bicarakan. Restoran itu cukup sepi, tidak banyak yang mendengarkan obrolan kami. Tapi saat itu pelayan restoran yang berwajah lucu itu menampakkan kebingungan saat aku memesan 2 porsi makanan dan 2 porsi minuman. Beberapa orang yang lewat di sebelah meja tempat kami duduk juga melihat kami dengan tatapan aneh. Aku rasa mereka iri karena kita terlihat sangat menikmati kebersamaan ini.
***
Kamis, 8 Desember 2011

Haaah… sudah lama ya aku tidak menuliskan sesuatu disini lagi. Maklum minggu ini UAS, aku harus sibuk belajar dan tidak sempat menulis disini lagi. Hari ini pun aku hanya akan menulis sedikit saja.

Hari-hariku selalu dipenuhi olehmu. Aku semakin mencintaimu. Seperti aku mencintai mamaku dan almarhum ayahku. :)
***
Mama sudah membuka halaman terakhir buku harianku, beliau menangis dan menutupnya. Mengembalikannya ke rak bukuku.

Tiba-tiba kau berdiri di sampingku, kau mengajakku kembali ke tempat asal kita, katamu. Aku tersenyum dan aku mengikutimu, dan aku bertemu ayah disana! Aku langsung memeluknya. Aku bahagia sekali disini.
***