Total Tayangan Halaman

Sabtu, 21 Januari 2012

Dingin yang Menghangatkan


Dia selalu ada di sampingku, kehadirannya selalu mententramkan hatiku. Dia ada dalam hening malam, terik siang, dan jingga senja. Meski terkadang sebagian besar dari mereka menolak kehadirannya, bagiku dia selalu ada, hidup dan berada di sini, di sampingku.

            Siang itu begitu terik karena sinar matahari tak kenal lelah menyinari bumi. Tanaman-tanaman seakan tersenyum karena mereka bisa kembali menjalankan aktivitasnya sebagai produsen bagi makhluk hidup yang lain. Begitu pula dengan hewan-hewan yang berkeliaran di jalanan, mereka tak mempedulikan teriknya sinar matahari. Malah, di dalam hati, mereka bersyukur bisa tetap menikmati tanaman hijau yang segar. Namun berbeda halnya dengan manusia yang selalu mengeluh dengan semua itu. Sinar matahari membuat dunia semakin panas. Tapi kehadiranmu yang selalu ada di sampingku membuatku sejuk setiap saat, terima kasih ya.

            Lagi-lagi hari ini teman-teman menatapku dengan tatapan aneh di kelas. Mata mereka melihatku tajam, seakan ada guratan rasa benci di dalamnya. Mereka selalu begitu ketika aku berbicara denganmu. Entahlah, mereka tak pernah mau mengobrol denganmu. Aku rasa karena kamu terlalu pendiam. Aku juga heran, guru-guru juga tidak pernah mau memanggil namamu ketika mereka mengabsen nama-nama semua anak di dalam kelas. Seringkali aku merasa kasihan denganmu, tapi kamu selalu mengatakan kamu telah terbiasa dan semua akan baik-baik saja.

            Hari itu mamaku akhirnya pulang setelah sekian lama beliau tak kembali ke rumah. Aku sangat menyambut kedatangannya, ya meskipun dengan sedikit terpaksa. Namun, aku kecewa karena beliau langsung marah padaku ketika aku memperkenalkanmu. Aku rasa tidak ada yang salah dalam caraku memperkenalkanmu pada mama, tapi kenapa beliau malah marah-marah dan meninggalkanku tiba-tiba? Gurat senyumnya yang halus itu mendadak hilang ketika aku memperkenalkan siapa kamu dan aku mengatakan bahwa aku menginginkanmu untuk menjadi pendamping hidupku. Tapi sadis, beliau malah mengatakan aku sudah gila. Apa mungkin karena beliau merasa aku berpikiran terlalu dewasa dengan menginginkanmu sebagai kekasih terakhirku? Ya, mungkin aku sudah gila karena sudah berpikiran sejauh itu dan aku sama sekali tidak mau jauh dari sosokmu.

Sore itu tanpa sengaja aku mendengar mama menelepon papa dan menyuruh agar papa segera pulang. Papa? Oh, bahkan aku lupa jika aku masih memiliki seorang papa. Aku sudah lupa kapan terakhir kali aku melihatnya. Aku juga sudah melupakan namanya, sedih sekali ya. Menyedihkan sekali memiliki papa seperti dia. Ah aku jadi menangis lagi teringat ayahku. Tapi, lagi-lagi kamu datang tiba-tiba di waktu yang tepat. Entah dari mana asalnya, kamu datang saat angin pelan menghembus di sela-sela rambutku, membuatku terpana dan tergerus dalam impian-impian kosong tanpa jawaban.

“Papamu menyayangimu seperti bisik malam dalam riuhnya hujan yang turun dari langit ke bumi, tak pernah terdengar dan tak pernah terlihat.” bisikmu.

Ingin aku menyela perkataanmu, tapi rintihan suara dedaunan membuat mulutku terkunci. Tak kuasa membiarkan lidahku untuk sekedar memperdebatkan bahwa ada yang salah dalam kalimatmu kali ini. Damai. Aku hanya merasakan damai saat kau di sini. Membuatku lelap dan nyaman, Saat kau mengelus rambutku dalam keheningan senja yang menjadi saksi kesucian antara kau dan aku tanpa pernah ternoda.

Aku mendengar mama mengatakan pada papa bahwa ada sesuatu yang salah denganku. Mama menelepon papa sambil menangis, terisak. Sayup-sayup aku dengar mama merasa bersalah karena telah sering meninggalkanku sendirian di rumah.

            Mama bilang beberapa hari lagi papa akan pulang. Namun tidak ada hasrat sedikitpun untuk bertemu atau sekedar melepas rindu dengannya, dia adalah orang asing bagiku. Bahkan aku cenderung sangat membenci orang asing.

Seperti biasanya, aku pulang sekolah tanpa terburu-buru. Kamu mengantarkanku hingga depan rumah. Aku selalu merasa tersanjung atas kebaikanmu. Terkadang aku mengajakmu sekedar mampir untuk makan siang di rumahku, tapi kamu selalu menolaknya dengan senyuman. Hei aku lupa mengatakan padamu, aku sangat menyenangi senyumanmu. Senyum tulus yang terkadang terukirkan dalam awan yang kulihat di kala senja, Saat aku terhanyut dalam kilauan indah kenangan bersamamu.

            Hari itu, papa tiba di rumah. Tidak lama kemudian aku datang bersama dernyit engsel pintu dan aku merasakan sepasang mata asing menatapku tajam, aku benci tatapan itu! Ada ruas-ruas kemarahan di dalam matanya, membuat emosiku berubah sedemikian hingga aku terpancing untuk ikut memancarkan kemarahan seperti tatapan mata orang asing itu. Tatapan yang benar-benar kubenci.
           
“Berhentilah menatapku! Aku tidak suka tatapanmu!” Bentakku.

            Dia menamparku, lelaki itu tiba-tiba menamparku!

            “Siapa kau? Kenapa kau menamparku? Apa kau pantas disebut papa?” Aku berteriak kepada mata asing itu.

            “Bodoh! Anak siapa kau berani berteriak seperti itu pada papamu sendiri!” Mata asing itu menyeringai kepadaku, mengeluarkan guratan merah memarah.

            “Pergi kau dari rumahku! Kau tidak pantas menjadi seorang papa!” Aku berteriak lantang mengusirnya dari rumahku, hei siapa dia berani memperlakukanku seperti itu!

            “Anak kurang ajar!!” lelaki asing itu bersiap mengumpulkan tenaganya di pergelangan tangan, akan menamparku sekali lagi dengan lebih menyakitkan.

            Segera aku berlari keluar rumah sebelum lelaki itu berhasil mendaratkan tangannya di pipiku yang telah merah ini. Aku berlari sekuat tenaga dan aku menjumpaimu di depan rumahku tapi aku tak menghiraukanmu, aku terus berlari hingga aku lelah. Lelah sekali.
***
Gelap. Mungkin aku kelelahan.

      Aku terbangun dan kamu disampingku, merelakan pundakmu untuk tempat kepalaku bersandar. Ah, aku masih pusing.

            “Ini dimana?” tanyaku.

            Kau diam saja.

            “Ini dimana?” aku kembali menanyakan padamu untuk memastikan bahwa kau benar-benar mendengar pertanyaanku.

            “Aku mencintaimu.” Katamu.

            Aku tersenyum, memelukmu. Aku tidak mengerti, di saat-saat seperti ini kau malah mengatakan hal itu.

            “Sekarang kita sama.” Katamu kemudian.

            “Kita selalu sama. Meski dunia kita memang berbeda.” Jawabku.

            “Dunia kita telah sama.” Katamu datar.

            Kau tersenyum. Aku memandangimu dengan tatapan penuh arti. Apakah kita benar-benar telah sama? Aku menyentuhmu sekali lagi, terasa sentuhan yang berbeda, seakan aku bisa memilikimu. Benar-benar memilikimu.
***
Aku tak pernah pergi darimu
Sehari, semenit, atau bahkan sedetikpun aku tak akan pernah meninggalkanmu
Menjagamu di samping malaikat yang sedang berkutat dengan ‘pena’nya
Terkadang malaikat menegurku
Dia bilang aku harus segera pergi
Tapi aku menolak, aku memohon padanya agar aku bisa terus disampingmu
Akhirnya malaikat memberikan bocoran, dia bilang kau akan menyusulku
Aku sangat senang, namun aku juga sedih
Aku senang karena kita akan bersama lagi
Aku sedih karena engkau akan kehilangan waktumu di dunia
Dunia yang (katanya) indah itu
Tapi akhirnya aku sadar, kau bahkan tidak bahagia di dunia itu
Kau bahagia bersamaku
Hanya bersamaku
***
           


Sudah 2 hari berlalu semenjak peristiwa itu. Mama membereskan kamarku dengan mata berkaca-kaca, jujur aku tidak suka sorot mata mama yang seperti itu. Beliau terlihat sangat sedih dan terpukul. Mama duduk di tepi tempat tidurku, dan oh beliau menemukan sesuatu!

            Mama, aku malu. Beliau menemukan buku harianku! Mau diletakkan dimana mukaku sekarang? Aku mengintipnya dari balik pintu, beruntungnya beliau tidak melihatku. Aku tidak berani masuk, malah sekarang mama mulai membuka buku harianku itu. Ah mama.
***
Senin, 21 November 2011

            Semakin detik semakin aku menambatkan rasa itu, kau memang sungguh mengagumkan! Lagi-lagi hari ini kau lakukan sesuatu yang sangat jarang kujumpai, membuat tatapan matamu terlihat semakin menarik di mataku.

            Kau memang selalu pendiam. Kau duduk sendiri di pojok ruangan, jarang bicara namun selalu terlihat sibuk, entah bersama handphonemu, bukumu, atau laptopmu. Hari ini sepulang sekolah aku terus mengamatimu, aku tidak akan membiarkanmu hilang dari pandanganku selama aku masih bisa mengamatimu dari sudut mataku. Hari ini sepulang sekolah, kau membawa seekor kucing kecil kurus kelaparan yang biasanya berlalu-lalang di depan kelas. Ya kucing itu memang keadaannya sangat mengenaskan, tapi apa iya kau akan membawa pulang kucing itu? Aku sungguh tidak habis pikir dengan jalan pikiranmu.

            Dengan motormu, kau bawa kucing itu sendirian. Kelihatannya kau sedikit kesulitan membawanya, apalagi hari itu mendung dan rumahmu sangat jauh dari sekolah. Aku sebenarnya ingin membantumu, tapi aku bahkan tak tahu bagaimana caranya aku bisa membantumu. Akhirnya aku hanya mengintipmu dari balik pintu kelas. Menunggu kau hilang bersama angin yang membawamu pergi. Tapi lagi-lagi kau berhasil melihatku! Ah kau sungguh menyebalkan dan mengherankan! Indra perasamu begitu kuat, sampai kadang-kadang aku pikir kau mempunyai indra keenam.

            “Bodoh. Jangan mengintip!” Katamu kaku.

            Aku diam saja.

            “Dasar tidak sopan.” Kau menambahkan.

            “Maaf.” Kataku. Aku tidak berani menambahkan kata-kata setelah itu. Aku begitu takut dibuatmu.

            Lalu kau hanya diam dan kembali menatapku dengan tatapan itu, tatapan yang selalu membuatku hanyut dalam pesonamu. Tatapan yang membuat mataku semakin tertarik melihat matamu. Tatapan yang membuatku basah kuyup oleh keringat.

            “Akan kamu bawa kemana kucing itu?” Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya.

            “Rumahku. Kau heran?”

            Sekarang aku yang terdiam. Aku tahu itu bukan pertanyaan yang harus dijawab, bahkan mungkin kau memang menginginkan aku tanggap dan tidak menjawab pertanyaan itu. Tidak lama kemudian, kau berlalu begitu saja di depanku. Aku masih melihatmu, memperhatikanmu hingga kau mulai hilang dari pandanganku. Aku masih saja melihat punggungmu, yang kau tutup dengan seragam putih dan jaket berwarna hitam pekat. Tapi aku sangat menyukainya. Oh ya aku mulai gila karenamu.

            Beberapa detik kemudian hujan turun. Hei? Hujan turun! Aku langsung teringat padamu dan kucing yang kau bawa. Kau tidak mungkin memasukkan kucing itu ke dalam jas hujan bukan? Ah ya kau juga sering lupa membawa jas hujan dalam jok motormu. Tanpa pikir panjang aku langsung berlari mengejarmu. Cukup bodoh memang, aku berlari mengejar motor yang beberapa waktu yang lalu sudah pergi dari sini, ya aku cuma berharap ada keajaiban yang bisa membuat aku masih bisa mengejarmu, mungkin kau harus menunggu di depan sekolah untuk menyeberang, atau kau bertemu temanmu di tengah jalan dan kemudian kau mengobrol dengannya. Ya aku berlari, demi kau! Aku berlari secepat mungkin dengan memikirkan segala kemungkinan yang ada. Untungnya, kemungkinan yang hanya sepersekian persen itu terwujud. Aku benar-benar bisa menyusulmu. Dan, oh aku baru berpikir. Hei untuk apa aku menyusulmu? Bodoh. Aku bahkan belum memikirkan hal itu sebelumnya. Tapi terlambat, ya aku sudah terlanjur sampai di depanmu. Berdiri mencegahmu dengan nafas terengah-engah. Untungnya aku segera mendapat ilham dari langit tentang apa yang seharusnya kukatakan saat itu.

            “Kucingnya aku aja yang bawa pulang. Rumahku dekat dari sini. Ini sudah gerimis, pasti sebentar lagi hujan. Kasihan kucingnya.” Aku menawarkan diri.

            Tanpa basa-basi kau memberikan kucing itu padaku serta tak mengucapkan sepatah katapun dan lagi-lagi kau berlalu begitu saja dengan senyumanmu. Senyuman yang membuatku jatuh hati, senyuman yang selalu kau bawa kemanapun kau pergi dengan sifat dinginmu itu, senyuman yang sanggup mencairkan es yang beku atau melelehkan baja. Tapi lagi-lagi kali ini senyum itu meninggalkanku yang sedang terdiam bersama sepi, sambil menggendong seekor kucing kecil kelaparan yang seharusnya menjadi tanggung jawabmu itu. Bersama rintik hujan yang mulai turun dan menetes di tanganku, bersamaan dengan tetes air mataku yang juga turun karena..aku mencintaimu. Walau seperti apapun kau perlakukan aku, aku mencintaimu, Bahkan semakin mencintaimu.
***
Selasa, 22 November 2011

            Hari ini ulangan fisika, bukan rahasia jika kau sangat menyenangi dan menjadi master dalam pelajaran itu. Bukankah kau bercita-cita akan melanjutkan studimu di teknik sipil? Aku sangat menghargai keputusanmu, ah ya bahkan kau tak peduli dengan pendapatku mengenai cita-citamu.

            Setengah jam ulangan fisika berlangsung, aku cukup pusing dibuatnya. 4 dari 10 soal ini belum kukerjakan sedangkan waktunya tinggal 30 menit lagi. Hh aku hanya bisa mendengus kesal dan berdo’a dalam hati, sambil terus menatap detik-detik jam yang terus berputar. Detik-detik jam yang membuat waktuku terasa semakin sempit. Detik-detik jam yang berharga namun sangat membosankan. Tiba-tiba kau berdiri, meminta ijin untuk keluar kelas kepada guru fisika yang kemudian menanyaimu dengan berbagai pertanyaan yang sangat sulit kudengar. Entahlah, aku tidak tau apa yang mereka bicarakan. Sampai akhirnya kau keluar dari kelas dan hingga ulangan fisika usai kau tak kunjung kembali, meninggalkan lembar jawabanmu di atas meja.

            Guru fisika berdiri dan mengambil lembar jawabanmu. Gawat, batinku. Aku pikir kau belum menyelesaikan soal-soal itu. Kau pergi saat 30 menit ujian tengah berlangsung, mustahil sekali kau bisa menyelesaikan 10 soal yang membuat otakku hampir mendidih itu dalam waktu hanya 30 menit. Tapi samar kulihat pada lembar jawabanmu, hei kau sudah menjawab semuanya. Brilliant! Lagi-lagi tanpa sengaja kau menambahkan sesuatu pada kadar kekagumanku padamu, bodoh.

            Tapi.. Satu lagi yang jadi pertanyaanku. Kemana kau?

            Beberapa menit kemudian kau baru kembali dan muncul dengan wajah bersih berseri, sepertinya kau telah mencuci mukamu, ah aku baru ingat kau selalu berusaha untuk selalu sholat tepat waktu. Sepertinya tadi selepas mengerjakan ulangan fisika, kau keluar untuk pergi ke masjid.

Hmm ya, aku bosan dan aku benci. Aku bosan terus-terusan menggerus keinginanku untuk mengagumimu setiap hari, dan aku benci harus terus menambah kadar kekagumanku padamu setiap hari meskipun aku tak ingin dan kau tak sengaja melakukannya. Aku benci tapi aku tak bisa memungkiri bahwa aku semakin mencintaimu.

Oh ya, hari ini aku membawa kucing yang kau titipkan padaku kemarin. Aku memberikannya padamu saat pulang sekolah. Sebenarnya aku telah memendam keinginan terdalam untuk sekedar bisa bercengkrama atau mengobrol denganmu, tapi kali  ini kau tetap saja dingin. Sedingin es. Aku masih belum mengerti bagaimana caranya melelehkan es itu, aku harus menjadi api untuk mencairkan kebekuan sifatmu itu. Sedangkan aku tak bisa menjadi api. Aku tak akan pernah bisa menjadi api.

Hanya beberapa detik aku memberikan kucing itu padamu, kau tetap diam dan sibuk mengutak-atik sesuatu di laptopmu. Beberapa menit kemudian kau beranjak dari tempat dudukmu dan pergi ke bangku salah seorang teman lelaki, kau membicarakan tentang aplikasi desain grafis dan segala hal mengenai desain dan komputer. Sekali lagi aku semakin kagum padamu, kau tahu segalanya. Bagiku kau seperti gading yang tak retak. Kau manusia sempurna di mataku. Ya sekali lagi aku terlalu berlebihan, tapi entahlah mungkin memang sudah takdirnya seorang remaja yang sedah jatuh cinta akan menjadi berlebihan seperti ini. Tapi kau berbeda. Kau sangat berbeda. Kau bukan lelaki lain yang akan mendekati seorang gadis dengan mengirimkan berjuta-juta pesan singkat berisi gombalan tidak penting dan mengajaknya pulang bersama, kau berbeda. Itulah sebabnya aku sedemikian hebat mengagumimu!

Aku mencintaimu.. Aria..

Meski kau bukan Aria Wiraraja yang pandai mengatur serangan untuk meruntuhkan kerajaan Kediri, bahkan kau bukan seorang pendekar seperti yang ada di film-film.

Meski kau tak akan pernah mengirimkan pesan singkat yang tak penting untukku, ya kau hanya akan mengirimkan pesan singkat yang penting-penting saja.

Meski kau bukan seorang kapten basket atau ketua osis seperti yang banyak diidam-idamkan oleh sebagian besar gadis. Kau tetap berkharisma di mataku.

Meski kau bukan pangeran berkuda yang akan menjemput seorang putri di istananya yang megah dan berpagar tinggi.

Meski aku bukanlah penyair, dan kau bukanlah ahli bahasa

Kau hanya seorang siswa SMA yang mengagumkan, dan aku hanya seorang yang akan selalu mengagumimu apapun yang kau lakukan. Karena menurutku kau takkan pernah salah. Karena menurutku kaulah yang terbaik diantara yang baik.
Aku mencintaimu. Kau percaya?
***
Rabu, 23 November 2011

Takdir memang baik padaku. Hari ini guru tata boga di kelasku memberikan tugas untuk membuat hidangan ala restoran yang enak dan menarik. Beliau membagi murid-murid menjadi beberapa kelompok, dan beruntungnya aku sekelompok denganmu. Kau tahu betapa bahagianya aku? Kadang aku terlalu sulit untuk berhenti menunjukkan bahwa aku mengagumimu. Kau tau? Itu tantangan terberat bagiku.

Kelompokku terdiri dari 6 anak, kami berdiskusi dan rasanya sungguh sulit untuk mengalihkan pandanganku darimu. Untungnya lagi kau terus berbicara bagaimana konsepmu untuk hidangan kami, sehingga semua mata akan tertuju padamu, bukan hanya mataku saja. Namun kali ini suaramu juga terekam dalam memoriku, menambah pasokan rasa cintaku padamu. Bukan gombal. Ini serius!

Akhirnya kami memutuskan untuk membuat hidangan itu di rumahmu, beruntungnya aku bisa ke rumahmu. Aku ingin melihat bagaimana ibu dan ayahmu, dua orang yang berhasil mewariskan sifat-sifat yang mengagumkan dalam dirimu.

Kami sampai di rumahmu, sebuah bangunan indah yang sederhana, tidak terlihat terlalu mewah tapi sangat menarik. Aku rasa orang-orang yang lewat di depan rumahmu pasti akan merelakan beberapa detik waktu berharga mereka di jalan untuk sekedar menoleh dan mengamati betapa menariknya rumahmu, yang berwarna krem dibalut sentuhan coklat yang mengesankan rumahmu seperti rumah kayu yang biasa aku lihat di buku-buku desain eksterior. Papamu memang hebat ya. Sama sepertimu.

Rumahmu tertata rapi sekali meski tak ada pembantu yang membersihkannya. Papa dan mamamu berangkat kerja pagi-pagi sekali dan pulang saat matahari mulai tenggelam. Aku yakin kaulah yang melakukan semua ini. Pasti kau yang membersihkan rumahmu, karena orangtuamu pasti sudah sangat lelah ketika pulang kerja. Adikmu yang masih TK itu juga tak mungkin membersihkan rumahmu hingga sebersih dan serapi ini.

Sayangnya hari itu orangtuamu belum datang saat kami datang ke rumahmu, ya sudahlah mungkin belum saatnya aku bertemu dengan mereka. Sesampainya di rumahmu, kau langsung mengajak kami sholat dan langsung menuju dapur untuk segera membuat hidangan sesuai konsep yang kau berikan. Aku benar-benar mengingat saat itu. Dengan cekatan kau tahu dimana letak semua bahan-bahan dan perlengkapan dapur. Aku malu pada diriku sendiri, aku sangat jarang memasak, dan bahkan aku tak mengerti dimana letak pisau. Kau pimpin kami untuk memasak hidangan istimewa untuk dibawa ke sekolah keesokan harinya. Dengan tegas kau menyuruh masing-masing dari kami melakukan sesuatu agar hidangan itu cepat tersaji dan dengan sangat sabar kau mengajariku yang belum bisa caranya mengiris bawang dengan baik, aku sangat malu padamu saat itu. Rasa malu itu pun membaur dengan rasa kagum terhadapmu.

Akhirnya hidangan telah tersaji, kau juga berhasil memasakkan makan siang untuk kami. Dan, oh Tuhan masakan bikinanmu benar-benar enak! Pantas saja setiap hari kau selalu membawa bekal dari rumah, masakan rumahmu sangat enak. Kau memang berbakat menjadi apa saja. Mungkin gen-gen dominan dari papa dan mamamu semuanya mengalir di dalam darahmu. Kau hebat sekali.

Saking enaknya, aku mengambil terlalu banyak makanan dan kenyang di tengah jalan. Aku merasa tidak enak denganmu, tapi perutku benar-benar sudah tidak kuat lagi. Aku tidak mau muntah. Aku tidak mau memuntahkan makanan selezat ini. Akhirnya aku berhenti, dan dengan tanggap kau melihatku tajam. Ah lagi-lagi tatapan itu.

“Tak sanggup menghabiskan?” tanyamu.

Aku hanya mengangguk pelan dan tidak berani menatap tatapanmu yang seperti itu.

“Sayang makanannya.” Katamu.

Aku masih diam dan menampakkan wajah bersalah.

Kau mengambil piringku dan menghabiskan makanan sisaku, aku benar-benar merasa bersalah kepadamu. Bisa-bisanya kau makan makanan yang telah kumakan sebagian itu.

“Kamu nggak jijik?” tanyaku.

“Kenapa harus jijik? Sayang kalau dibuang. Sebutir nasi menjadi sangat berharga bagi orang yang kelaparan di luar sana.”

Lagi-lagi aku terdiam, mengisyaratkan bahwa aku menyetujui pernyataanmu. Sejak itulah aku berjanji pada diriku sendiri untuk selalu menghabiskan makananku. Itulah kelebihanmu, kau tidak pernah meremehkan hal-hal kecil yang sebenarnya bisa menjadi sangat berharga di mata orang lain.
***
Kamis, 1 Desember 2011

Sudah seminggu tepat aku tidak menuliskan sesuatu di dalam buku harianku ini. Hhh aku terlalu sibuk dengan banyaknya ulangan dan tugas-tugas yang semakin menghimpitku. Padahal setiap hari itu pula akan menjadi sangat berharga bersamamu, aku tidak akan melewatkan satupun kenangan bersamamu terhapuskan karena memori-memori yang lainnya. Setiap putaran jarum jam ke kanan setiap itu pula aku semakin dekat denganmu, setiap itu pula rasa kagum dan rasa cintaku berbanding lurus.

Hari ini putaran jarum jam itu berhenti bagiku. Atau bagimu? Terserahlah bagiku aku dan kamu adalah satu. Aku seperti orang gila melihatmu dibalut selang-selang seperti itu. Ah apa yang kau lakukan sayang? Oh ya aku baru ingat, aku bahkan belum berhak memanggilmu sayang, dulu kau pernah mengatakan padaku bahwa aku tidak boleh memanggilmu sayang sebelum waktunya. Aku tau kapan waktunya. Saat aku dan kau telah menjadi satu menurut hukum dan menurut agama bukan? Saat aku dan kau telah resmi menyatukan hati dan kita bisa bebas berbagi kesedihan bersama? Kau bilang aku tidak boleh membiarkanmu hidup bebas dalam angan-anganku. Kita bukan muhrim, katamu. Tapi tidakkah aku boleh membayangkan untuk bersanding denganmu dalam sebuah tempat yang disebut dengan ‘kehalalan’ itu sekarang? Aku hanya membayangkan. Aku tahu kita tidak boleh merajut asa kita bersama saat ini, Dalam teoripun telah kupelajari, bahwa hal itu memiliki banyak hukum dalam agama kita. Di usia yang labil seperti sekarang ini Tuhan belum menganjurkan kita untuk menikah, karena baik aku maupun kamu masih belum bisa menafkahi diri kita masing-masing. Oh ya, aku tahu aku berpikiran terlalu sangat jauh. Maafkan aku ya.

Oh ya, Aria. Lain kali hati-hati ya saat bepergian. Aku tidak tega melihatmu dalam keadaan seperti itu. Apalagi saat dokter memberitahukan kepada papa dan mamamu dengan wajah bersalah seperti itu. Mamamu langsung menjerit histeris dan berlari masuk ke ruanganmu sambil menangis. Aku berjalan pelan mengikutinya dari belakang. Aku lihat alat itu menunjukkan suatu garis lurus dan berbunyi keras yang sangat memekakkan telinga. Aku benci suara itu. Suara itu mengingatkanku pada kejadian beberapa tahun lalu, saat Tuhan mengambil nyawa ayahku dulu.

Ah sudahlah aku tidak mau mengingat saat itu lagi. Beberapa saat setelah itu keluargamu berdatangan. Kau kaget karena banyak keramaian di sebelah tempat tidurmu, lalu kau terbangun dari tidurmu, kemudian kau mengajakku keluar dari rumah sakit dan menggandeng tanganku. Hei ada apa denganmu? Sebelumnya kau tidak pernah sama sekali menyentuhku.

Hari itu kita habiskan bersama-sama dengan duduk di tepi danau kecil dekat rumahku. Aku rasa ini benar-benar seperti yang ada di film-film. Tapi ini nyata, entahlah kau sangat berbeda hari ini. Kau kembali tersenyum dan menatapku, tapi aku rasa ada sesuatu yang berbeda darimu saat itu.

Apa akal sehatku hilang?

Aku tak peduli, yang penting aku bahagia bersamamu hari ini. Kau menemaniku hingga aku sampai di depan rumahku. Mencium keningku dan melambaikan tanganmu padaku. Bersamaan dengan tenggelamnya matahari di belakangmu, aku melihat senyummu yang terakhir hari itu. Berbeda, namun tetap indah. Terima kasih, bisikku dalam hati.
***
Jum’at, 2 Desember 2011

Aku pergi ke sekolah seperti biasanya, bahkan aku sangat gembira jika mengingat hari kemarin. Kau benar-benar berubah.

Sesampainya di kelas, aku melihat teman-teman sekelas sedang menangis terisak. Mereka memelukku sambil mengatakan bahwa aku harus tabah dan sabar. Aku tidak mengerti maksud mereka, tapi tiba-tiba saja aku takut berada di dalam kelas. Aku merasakan sesuatu yang sangat aneh. Aku tidak suka melihat banyak orang menangis, itu kembali mengingatkanku pada ayahku. Langsung saja aku pergi keluar kelas untuk mengasingkan diri ke musholla putri. Disana aku menangis terisak mengingat wajah ayahku.

Beberapa jam kemudian setelah tenang, aku kembali ke kelas. Namun kelas telah kosong, ah apa mungkin hari ini memang bukan hari efektif KBM? Ya, akhirnya aku memilih untuk langsung pergi ke lapangan parkir untuk mengambil motorku. Kemudian pergi ke suatu restoran yang cukup sepi, sangat cocok untuk menenangkan pikiran. Sesampainya disana, aku melihatmu. Wow, ini sungguh kejutan. Kau bilang kau mengikutiku sejak di sekolah tadi. Kau terus memanggilku tapi aku tidak mendengarmu. Aku sangat gembira, hari ini akan kuhabiskan bersamamu lagi.

Kami makan sambil membicarakan hal apapun yang bisa kami bicarakan. Restoran itu cukup sepi, tidak banyak yang mendengarkan obrolan kami. Tapi saat itu pelayan restoran yang berwajah lucu itu menampakkan kebingungan saat aku memesan 2 porsi makanan dan 2 porsi minuman. Beberapa orang yang lewat di sebelah meja tempat kami duduk juga melihat kami dengan tatapan aneh. Aku rasa mereka iri karena kita terlihat sangat menikmati kebersamaan ini.
***
Kamis, 8 Desember 2011

Haaah… sudah lama ya aku tidak menuliskan sesuatu disini lagi. Maklum minggu ini UAS, aku harus sibuk belajar dan tidak sempat menulis disini lagi. Hari ini pun aku hanya akan menulis sedikit saja.

Hari-hariku selalu dipenuhi olehmu. Aku semakin mencintaimu. Seperti aku mencintai mamaku dan almarhum ayahku. :)
***
Mama sudah membuka halaman terakhir buku harianku, beliau menangis dan menutupnya. Mengembalikannya ke rak bukuku.

Tiba-tiba kau berdiri di sampingku, kau mengajakku kembali ke tempat asal kita, katamu. Aku tersenyum dan aku mengikutimu, dan aku bertemu ayah disana! Aku langsung memeluknya. Aku bahagia sekali disini.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar