Total Tayangan Halaman

Sabtu, 21 Januari 2012

Buah Petaka


            Sore itu seperti biasa aku dan teman-temanku berlarian kesana-kemari dengan riuhnya. Kami begitu bebas dan lepas untuk menertawakan hidup kami. Dunia anak kecil memang selalu terasa indah dan menyenangkan, pikirku. Kami melawan derasnya hujan dan berputar-putar seenaknya, tanpa memperdulikan kilat dan guntur yang terus menyambar.

Tetangga di dekat rumah kami, namanya Mpok Inem. Beliau tidak pernah absen menegur kami ketika kami sedang asyik hujan-hujanan. Beliau selalu bilang kami seharusnya cepat pulang karena cuaca terlihat sangat membahayakan, apalagi saat kilatan cahaya terus berganti, guntur menggelegar, dan angin kencang bertiup. Seringkali beliau menegur kami dengan sangat halus, malah juga menyogok kami dengan beraneka ragam makanan. Maklumlah Mpok Inem hidup sendiri, dia hanya perlu membiayai hidupnya sendirian. Sedangkan warung yang dibuka Mpok Inem sangat laris di wilayah desa kami. Bagaimana tidak, Mpok Inem begitu kreatif dalam mengolah segala jenis makanan. Mpok Inem memiliki banyak kerabat di daerah kota, beliau sering mengunjungi sekaligus membeli bahan untuk jualan di kota.

Ada seorang kerabat Mpok Inem, Bang Faiz namanya. Bang Faiz sangat sering mengunjungi desa kami, seringkali Bang Faiz membawa berbagai macam bahan untuk jualan Mpok Inem ketika Mpok Inem tidak bisa pergi ke kota, entah karena sakit atau cuaca sedang tidak bersahabat. Aku dan teman-temanku tidak tahu pasti hubungan kekerabatan apa antara Bang Faiz dan Mpok Inem, mereka berdua tidak mirip, mulai dari warna kulit, mata, bentuk hidung, dan tentu saja rambut. Tapi kami tidak peduli, Bang Faiz adalah orang yang sangat baik di mata kami. Bang Faiz sering membawakan kami berbagai macam makanan anak kota, terkadang juga buah yang tidak pernah kami jumpai di desa.

Hari itu saat kami hujan-hujanan, tidak seperti biasanya Mpok Inem tidak menegur kami lagi. Sebenarnya setiap hujan-hujanan kami semua sengaja mengambil tempat di dekat rumah Mpok Inem, kami berharap Mpok Inem kembali menyuguhi kami dengan berbagai jenis makanan. Tapi hari itu Mpok Inem tak kunjung keluar dari rumahnya. Awalnya, kami pikir Mpok Inem sedang pergi ke kota, tapi kami tahu hari ini hari adalah hari Senin. Biasanya, Mpok Inem pergi ke kota tiap hari Minggu, dan hari Senin pasti bahan makanan Mpok Inem masih banyak.

Akhirnya setelah bercakap cukup lama, kami memutuskan untuk mengetuk rumah Mpok Inem, tentu saja yang kali ini bukan untuk meminta makanan, hanya saja kami khawatir dengan keadaan Mpok Inem. Rumah Mpok Inem sangat kecil, hanya ada satu ruangan di dalamnya, termasuk untuk membuka warung. Tapi walaupun begitu Mpok Inem selalu kelihatan bahagia, sepertinya memang Mpok Inem tidak pernah berniat untuk mencari suami lagi. Dulu Mpok Inem tidak tinggal di sini, beliau tinggal bersama suaminya di kota. Jadi karena itulah Mpok Inem mengerti bagaimana seluk-beluk kota dan berbagai macam makanan kota yang kemudian Mpok Inem jual di kampung kami.

Beramai-ramai kami mengetuk pintu rumah Mpok Inem, setidaknya untuk meyakinkan bahwa Mpok Inem benar-benar ada di dalam rumah, karena sandalnya terlihat masih ada di depan rumahnya. Berkali-kali kami mengetuk pintu rumahnya, tapi tetap saja tak ada jawaban. Salah satu dari temanku yang paling berani, namanya Fahri. Dia nekat membuka gagang pintu rumah Mpok Inem, dan ternyata pintu rumahnya benar-benar tidak terkunci.

Kami melihat Mpok Inem tertidur di atas kasurnya. Oh rupanya inilah penyebab Mpok Inem tidak membukakan pintu rumahnya, ternyata beliau sedang tidur lelap. Tapi selelap itukah Mpok Inem tidur sampai-sampai tidak mendengar ketukan pintu kami?

Lantas kulihat di atas meja tergeletak satu buah yang sangat aneh, beserta memo di sampingnya. “Makanlah buah ini Nem. Faiz.”

Buah berwarna merah delima ini memang sangat menggairahkan, terlihat sangat ranum dan sepertinya rasanya sangat manis. Langsung saja karena sangat kelaparan aku memakan buah itu tanpa ijin.

Tiba-tiba semuanya gelap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar