Total Tayangan Halaman

Sabtu, 21 Januari 2012

Drama Kejujuran (Dimuat di Jawaposforher)

Kakiku melangkah, tak tahu arah tujuannya. Aku terus berjalan dengan tatapan kosong dan mata yang sembab akibat kehabisan air mata. Perutku kelaparan, namun aku sama sekali tak punya nafsu untuk mengisi kekosongan perutku ini. Bayangan mereka terus terbayang di setiap langkah kakiku. Do’a untuk mereka akan selalu terucapkan dalam kesendirianku.

Aku rasa tak akan ada seorangpun yang tetap mau berteman denganku. Aku mengonsumsi barang dari uang haram yang bahkan baru kuketahui asalnya beberapa waktu silam. Kenapa begitu teganya mereka memberikanku makan dari barang haram itu?

Beberapa jam yang lalu, aku yang sedang tidur dikagetkan dengan suara sirene-sirene mobil kepolisian yang seakan mendekat ke arah rumahku. Aku kira mereka sedang sekedar mengejar orang-orang yang terkena tilang dan sedang melarikan diri. Tapi ternyata aku salah, mereka datang menuju rumahku. Aku turun dari kamarku dan mencari kedua orangtuaku di seisi rumah. Mereka tak ada dimanapun. Akupun kebingungan, sedangkan polisi-polisi itu makin keras mengetuk pintu rumahku.

Akhirnya tanpa berpikir tentang apa yang sebenarnya terjadi, aku segera pergi membukakan pintu untuk para polisi itu. Mereka masuk ke rumahku tanpa permisi sambil membawa pistol, aku sangat ketakutan dan masih tak mengerti apa yang terjadi. Tubuhku gemetaran, hanya ada aku di rumah itu. Dan sekarang aku sedang dikepung oleh beberapa polisi yang membawa senjata tajam.

“Angkat tangan! Mana kedua orangtuamu hah?” Polisi itu menodongkan pistolnya ke arahku.

Akupun menjawab dengan polosnya, “Saya sungguh tidak mengetahui apa yang terjadi. Saya baru saja bangun tidur dan tidak tahu dimana ayah dan ibu. Saya sudah mencarinya di seisi rumah namun mereka tak ada dimanapun.”

“Bohong kamu! Ayo cepat tunjukkan dimana orangtuamu!”

“Saya benar-benar tidak tahu dimana mereka, saya juga tidak tahu apa yang terjadi hingga kalian datang kesini dan menodong saya dengan pistol.” Akhirnya aku berani mengucapkannya, sambil kemudian air mataku mulai menetes karena ketakutan.

Polisi-polisi itu kemudian masuk ke dalam rumahku dan mencari kedua orangtuaku. Tanganku dipegang oleh seorang polisi wanita. Aku terus menangis dan tak sanggup bicara lagi.

“Tidak ada! Mereka tak ada dimanapun!” polisi-polisi itu berteriak sambil menunjukkan sedikit ekspresi kemarahan di matanya. Aku semakin takut, tapi aku hanya bisa berdoa dan berharap semuanya segera berakhir.

Seorang polisi wanita yang sedari tadi memegangku, Bu Ratna. Dia terlihat begitu sabar sehingga akupun berani bertanya padanya tentang apa yang terjadi. Tapi sebelum beliau sempat menjelaskan, polisi-polisi yang lain segera mengajak untuk kembali ke kantor polisi, termasuk akupun ikut serta.

Aku menangis di sepanjang perjalanan, aku duduk di samping Bu Ratna. Akhirnya ia menceritakan semuanya. Sesuatu yang sesungguhnya tak pernah kuketahui dan aku harap tak akan pernah aku ketahui.

Orangtuaku adalah pengedar shabu-shabu, mereka adalah salah satu dari sindikat besar pengedar shabu-shabu di Jogjakarta. Teman-teman mereka telah tertangkap, kemudian memberikan alamat rumahku agar polisi bisa menangkap kedua orangtuaku. Namun, sepertinya kedua orangtuaku sudah mengetahui hal itu sebelumnya, sehingga mereka melarikan diri dan tak membawaku karena takut aku ikut terlibat dalam kasus mereka.

Tangisku semakin keras, itu hal terburuk yang pernah kudengar selama 17 tahun hidupku. Aku ingin pingsan tapi aku tidak bisa. Oh Tuhan, apa salahku hingga kau berikan cobaan seperti ini padaku?

Beberapa jam aku diinterogasi di kantor polisi dalam keadaan shock berat. Hingga beberapa jam kemudian mereka memulangkan aku.

Akhirnya sekarang aku berjalan tanpa arah, tanpa tujuan. Bagaimana sekolahku? Aku tak tahu. Rasanya aku ingin mati saja.

Saat aku sedang sendirian berjalan, HPku bergetar, ah bahkan aku baru ingat aku menaruh HP di sakuku. Namun aku tak ingin menghiraukannya, aku ingin melamun, berjalan tanpa tujuan dengan kondisi berantakan seperti ini. Mencoba meyakinkan diriku bahwa aku akan tetap baik-baik saja.

HPku terus bergetar, akhirnya akupun mengangkatnya. Sebuah telepon dari nomor tidak dikenal.

“Halo”

“Ranni, ini ayah. Kamu dimana nak?”

“A...Ayah?” Mataku  mulai berkaca-kaca.

“Iya, kamu dimana nak? Ayah di rumah nenek sekarang. Kamu sebaiknya kesini, ayah khawatir kamu di rumah sendirian.”

“Enggh..iya yah..”

Ayahku segera menutup teleponnya. Aku tertegun sejenak. Rumah nenek? Seorang pengedar narkoba sedang berada di rumah ibunya? Dan aku tahu? Lalu apa yang harus kulakukan?

Aku menangis dalam perjalanan hingga kutemukan sebuah masjid dan aku sholat untuk menenangkan diriku. Beberapa menit kemudian, aku mengambil HPku dan menelepon kantor polisi untuk melaporkan keberadaan ayahku. Aku yakin itu hal yang paling tepat kulakukan sekarang.

Polisi segera menjemputku dan membawaku ke rumah nenekku, tempat dimana ayahku berada. Jiwa dan ragaku menangis, namun memang ini yang harus kulakukan. Bukankah kejujuran yang ibu dan ayahku ajarkan sejak aku kecil dulu?

Akhirnya aku sampai, polisi itu mengepung rumah nenekku. Kemudian menangkap ayah dan ibuku. Aku masih menangis namun ada kelegaan dalam hatiku. Aku telah melakukan aplikasi kejujuran yang selalu mereka ajarkan padaku.

Setelah ini aku yakin, aku akan hidup dengan tenang. Aku bisa hidup dengan caraku sendiri, setidaknya aku hidup tanpa beban karena aku tidak jadi melakukan kebohongan sepanjang hidupku. Namun aku akan tetap menyayangi mereka sebagai kedua orangtuaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar