Total Tayangan Halaman

Sabtu, 21 Januari 2012

Kulihat Lirihan Suara


Diandra. Di tengah lesung pipit manismu yang teraba, mendamaikan setiap senyap yang merambati dinding-dinding hati. Di sisi maya aku bisa melihat, meski hanya mimpi yang takkan pernah menjadi nyata. Berteman dan bernyanyi dengan angin malam tanpa merasa takut kehilangan. Di sini terngiang sejuta kata hibur, meski tak pernah terasa mudah sejak aku lahir.

***

Tangis untuk pertama di dunia merekah, ditempa bumi yang terasa mengerikan. Riuh ucap syukur terdengar di tengah gelap yang meraba asaku. Terasa gelap meski aku belum mengenal apa itu cahaya. Adzan dengan indah terkumandang di telingaku, sejak itulah kukenal Tuhanku.

Matahari yang tak pernah bersinar. Tapi keindahannya berkilauan dalam anganku. Dialah matahari, orang paling baik di dunia yang kupanggil 'ibu'. Dengan sabar dia merawat dan menjagaku. Kecantikannya melebihi apapun di dunia. Meski tak pernah kutahu bagaimana wajahnya, tapi keindahan suaranya berhasil melelapkan tiap tidurku. Namun sayang, matahariku hanya hadir untuk waktu yang berjarak kilatan guntur dalam hujan deras.

Beberapa bulan semenjak Tuhan meniupkan ruhku ke sini, kebenaran mulai terkuak. Bagai petir di siang bolong, orangtuaku menghadirkan sosok yang berbeda 180 derajat kala itu. Sejak kenyataan mengatakan bahwa aku tak akan pernah bisa melihat wajah sayu mereka. Seakan ditempa ombak tapi tak berasa linglung, terasa sangat menyedihkan.

Hari itu. Hari dimana aku merasakan seperti dibawa menuju suatu tempat. Aku pikir, hanya tempat yang biasa-biasa saja. Aku tersenyum. Tersenyum tanpa pernah bisa melihat wajahku sendiri, itu salah satu hal menyakitkan yang terjadi dalam satu tahun pertama hidupku.

Tempatnya hening, tapi terasa sangat menenangkan. Aku diletakkan di sini, kukira sekedar untuk waktu yang singkat. Mereka bilang aku harus duduk di sini untuk beberapa saat, diam dan tidak nakal. Lalu aku merasakan mereka pergi meninggalkanku.

Sejenak demi sejenak aku merasa sendirian, menangis dengan harapan kedua orangtuaku akan segera datang menjemputku. Haus dan kelaparan mulai melanda badanku yang masih kecil ini . Semenit aku menangis, aku belum merasakan tanda-tanda kedua orangtuaku di sebelahku. Dua menit, tiga menit, dan berpuluh-puluh menit hingga aku rasa aku lelah menangis. Aku ingin berjalan, tapi tak tahu arah. Bahkan aku tak tahu sekarang sedang berada di atas apa, entah bebatuan, tegel, keramik, ubin, atau apapun yang aku belum mengerti.

Beruntungnya tangisan itu memanggil seorang wanita baik yang kemudian membawaku masuk dengan suara lembutnya. Suaranya mengingatkanku pada suara seseorang yang kusebut ibu. Wanita itu menanyakan pertanyaan yang sebagian besar aku jawab tidak tahu. Dia malaikat, teman saat aku setia menanti kapan ibu dan ayahku akan datang menjemputku. Penghibur hati seorang anak kecil kebingungan yang sedang menunggu kedua orangtuanya datang menjemput.

Hari demi hari kulewati di tempat ini bersama malaikat itu, aku menyebutnya Bibi Ros. Disini aku hidup dengan banyak anak lainnya, teman-teman yang memiliki nasib hampir serupa denganku. Mereka benar-benar tegar, karena itulah aku malu jika aku berbeda dengan mereka. Dengan sabar mereka mengajariku berjalan, sedikit demi sedikit aku berhasil berjalan dengan keterbatasan ini. Sampai akhirnya aku berhasil berjalan dengan lancar, terima kasih kawan.

Entah berapa tahun sudah aku disini, sedikit demi sedikit melupakan sosok yang kusebut dengan ibu dan ayah. Mengharap kedatangan mereka untuk kembali menjemputku yang kini hanya jadi harapan kosong. Memori yang menyimpan suara mereka juga sudah hilang bersama angin lalu. Aku punya kehidupan baru disini, bersama teman-temanku yang sangat baik, termasuk Diandra. Gadis yang memiliki hati selembut sutra, tangan seperti malaikat, dan suara yang bisa membuat orang tuli mendengarkan suaranya. Wanita sempurna tanpa keterbelakangan apapun. Satu-satunya yang membuatku ingin memfungsikan organ penglihatanku ini, wajah Diandra.

Suara Diandra dapat menggetarkan malam yang selalu menghantuiku, berpacu ikut bersama dengan kedewasaanku yang semakin hari makin mengejarku. Melancarkan setiap desir aliran darahku ketika aku di dekatnya.

Tapi sayang, kini semua telah sirna, senyap dilahap waktu. Diandra tak ada lagi disini. Entah dimana dia berada, mungkin sudah menjadi wanita sukses yang diperistri oleh seorang usahawan tampan kaya raya. Ah Diandra, andaikan engkau tahu bagaimana kupendam rasa ini begitu dalam dan menyusup menempati setiap bagian hatiku yang kosong.

Kini aku telah menjadi pengganti Bibi Ros disini. Beliau sudah tua dan teman-temanku yang juga dirawat olehnya pergi satu-persatu, hanya tinggal aku yang setia mengurus beliau. Sekarang aku yang sering menemukan anak-anak tak bertuan, yang terkadang kupungut dari jalanan, atau diletakkan tepat di depan pintu rumah ini. Entah bagaimana pola pikir orang yang tega membiarkan anak-anaknya menjadi tak bertuan seperti ini. Seperti nasibku yang kuharap tak akan terjadi lagi pada seorangpun di dunia. Sakitnya mengharap kepalsuan dan ditinggalkan begitu saja oleh orang tuaku, begitu dalam membekas disini.

Menjalani kehidupan bersama anak-anak kecil begitu menyenangkan, mereka seakan memiliki angan besar yang akan mereka wujudkan kelak. Memiliki banyak cita-cita yang seakan sudah pasti akan bisa mereka wujudkan kelak. Tapi kebahagiaan itu sedikit tercoreng oleh kesedihan yang selalu menyelimuti saat aku bertemu dengan bayangan Diandra yang semakin hari semakin kurindukan. Ah Diandra, aku pasti cemburu melihat bagaimana suamimu.

Ya Diandra, aku tahu kau tidak akan memilihku. Karena aku tidak akan bisa menatapmu dengan tatapan sayang, membelai rambutmu tepat sasaran, atau mengoreksi tampilan bajumu di kala kau membutuhkannya. Diandra, maafkan aku.

***

Kriiing!!!!

Telepon di panti asuhan ini berdering, membuat lamunanku terbuyarkan. Harapanku naik. Terselip satu harapan bahwa Diandra akan menelepon kesini. Diandra, sebegitu besar aku merindumu. Apalagi suaramu, itu adalah hal menyejukkan yang sangat kudambakan. Pengobat semua rasa sedih yang tertambat dalam hati.

Segera saja aku terkesiap kala orang asing dalam telepon mengatakan bahwa seorang wanita menjadi korban tabrak lari, dan wanita itu tidak membawa identitas apapun kecuali secuil kertas berisi nomor telepon tempat ini. Deg. Jantungku berdegup kencang, apa itu benar kau, Diandra?

Dalam hitungan menit, aku sudah siap untuk segera pergi ke rumah sakit tempat wanita itu berada, kini secuil harapan lagi-lagi naik tahta, meskipun ini bukan waktu yang tepat. Pertempuran hati dimana jika itu Diandra, apapun keadaannya tetap akan menjadi pelipur kerinduanku terhadapnya. Tapilah aku tidak tega jika kecelakaan itu akan berakibat fatal. Diandra, sepucuk do'aku untukmu.

Aku mengalami sedikit kesulitan dalam perjalanan. Mereka mendorongku kesana-kemari. Dasar orang-orang tidak berpendidikan! Gerutuku dalam hati. Belum selesai mereka mendorongku, kata-kata makian mereka lontarkan untukku. Astaghfirullah! punya salah apa aku pada mereka. Aku terus diam hingga lama-lama aku berada di titik paling muak dan segera turun dari bus kota yang kutumpangi. Huh.

Menyusuri jalan bukanlah hal yang mudah bagiku. Bisingnya suasana ibukota semakin membuatku pusing, ditambah kendaraan yang berlalu lalang kesana kemari, membuatku harus lebih berhati-hati menajamkan mata hati yang kumiliki. Aku merasa tidak enak, sepertinya ada beberapa pasang mata menatapku tajam. Mungkin anak-anak kecil yang tidak biasa melihat tuna netra sepertiku berkeliaran di jalanan seperti ini. Tapi apa boleh buat, rumah sakit tidak jauh lagi dari sini. Menaiki bus lagi pun sudah tanggung. Sudahlah, hanya beberapa meter lagi dari sini. Aku hanya perlu berjalan selama beberapa menit.

Akhirnya menit-menit penuh harapan itu membawaku sampai di Rumah Sakit. Diandra, apakah kau benar-benar ada disini? Kenapa hawa keberadaanmu semakin menusuk tulangku bersamaan dengan dinginnya udara di sini? Diandra, dimanapun kau. Aku harap kau baik-baik saja.

Diandra. Diandra. Tak hentinya kau berlari kesana-kemari dalam pikiranku. Menampakkan senyum maya imitasi karena sebenarnya tak pernah sekalipun aku pernah melihat senyuman itu. Tiba-tiba aku merasa semakin bodoh, tak sepantasnya orang buta sepertiku memujamu, Diandra. Gadis jelita tanpa cacat sedikitpun.

Anganku tentang Diandra melayang bersama langkah kakiku menuju ruangan tempat wanita itu berada. Tepat di pojok ruangan, aku berhenti. Meraba pintunya dan menemukan angka 6. Inilah kamarnya.

Perlahan aku memasuki ruangan itu, pelan tapi pasti wangi tubuh Diandra benar-benar terasa menyengat. Masuk melalui hidung terhirup hingga ke ujung alveolusku. Diandra, benarkah itu kau?

Mataku meraba rambut, ke hidung hingga turun ke bibir. Diandra, ini benar-benar kau. Kupegang tanganmu, kehalusan yang sama persis seperti tangan yang kupegang beberapa tahun lalu, saat kita bermain bersama di suatu taman bermain dekat panti asuhan. Diandra, apakah ini benar-benar kau? Bagaimana keadaanmu?

            Menit demi menit berlalu dengan kerinduan yang sudah lumayan terobati. Aku terus duduk dan menunggu kedatangan seorang lelaki pembawa kabar yang acapkali disebut “dokter”. Bukan main perkataan yang keluar saat dokter itu mendatangi kamar Diandra, dimana aku sedang duduk di kursi kecil di dekat ranjangnya. Dokter bilang, ada sesuatu yang buruk terjadi pada pita suara Diandra.

***

            Diandra. Tengah malam ini aku terbitkan mentari dari ufuk matamu, sayu semu tak bertepi dan tak sanggup diucapkan dengan kata. Kini dendang suaramu tak bisa lagi kudengar. Aku tak bisa melihat dan kau tak bisa bicara. Betapa sulit untuk kita berkomunikasi? Tapi pertanyaan itu tergerus dengan kenyataan bahwa kita bisa melakukan semua itu dengan hati. Semua alat indra yang tak berfungsi dapat difungsikan oleh hati. Dua hati yang saling tertaut menjadi suatu simfoni.

***

            Jangan lagi menangis, Diandra. Tatap mataku meski aku tak bisa menatapmu. Dengar suaraku dan tak perlu kau menjawabnya. Aku tak akan keberatan Diandra, kau hanya perlu mendengarkan semua ocehanku, kalaupun aku harus selalu menjadi pembicara dalam setiap pertemuan kita, aku tak akan keberatan. Cinta tak harus diperlihatkan dan diungkapkan, ya kan, Diandra?

            Aku harap kamu tak lagi sedih, Diandra. Jangan lagi tangisi kepergian lelaki tak bertanggung jawab itu. Dia meninggalkanmu karena sekarang pita suaramu tak bisa lagi bergetar. Ia merasa kehilangan senandungmu yang dulu selalu menemaninya berbalut dengan mimpi. Hanya gara-gara kau bisu, dia meninggalkanmu. Dia tidak mencintaimu, Diandra. Dia hanya menyenangi pita suaramu, karena itulah saat waktu bertindak kejam pada pita itu, tanpa basa-basi dia meninggalkanmu dan tak pernah sekedar mengucap kata permisi sebagai kata terakhir penutup hubungan kalian.

            Lihat aku disini, satu-satunya orang yang bisa mendengarkan suaramu saat ini, bahkan tanpa telingaku. Tapi disini aku bisa mendengarnya, di sudut mati dimana aku selalu berharap bisa mengucap kata berharga penuh arti dan menyerahkan maskawin untuk menebusmu.

            Aku mencintaimu Diandra, tanpa pernah lisanku mengucap sesal.
***
            Hari itu tiba, kebahagiaan menyeruak diantara kami. Meski diiringi cemooh bahwa orang-orang dengan keterbatasan seperti diri kami tak akan bisa hidup bahagia bersama. Aku tak peduli, karena ketersediaanmu mendampingiku disini sudah merupakan kebahagiaan tersendiri bagiku. Terima kasih. Aku janji aku akan membahagiakanmu.

***

Karpet merah digelar di depan gedung mewah ini, banyak lelaki mengenakan jas hitam dan gadis-gadis cantik tersenyum penuh makna. Dengan takjub aku menghela nafas sambil memegang rentetan huruf Braille berisi tulisan tentang keadaan di luar gedung itu. Ya inilah yang menjadi rutinitas kita, dimana kau tuliskan huruf Braille untuk mewakilkan penglihatanku yang ada pada bola matamu, dan aku ucapkan suaramu yang ada dalam lidahku. Kita telah menjadi satu, Diandra. Satu bagian tubuh yang saling melengkapi satu sama lain.

Diandra, lihat hasil kerja keras tangan kita. Aku akan melihatnya di balik matamu dan kau akan mengucapkan syukur dengan lisanku. Meski bebatuan terjal mengganggu langkah kita. Kita telah berhasil Diandra. Menunjukkan pada dunia jika orang buta dan bisu bisa mengubah takdir mereka. Takdir untuk tetap bahagia dan hidup tanpa keterbatasan. Karena jika kita bersama, kita bisa membobol batas tak berguna itu. Ingat satu hal Diandra, kita tidak cacat, hanya saja kita kurang sempurna.

Kuraba bibirmu dan kutemukan sebuah sunggingan senyum penuh kebahagiaan. Tanpa melihatnya, aku tahu. Kau bisikkan kebahagiaan lewat senyum itu. Aku bisa melihat Diandra. Aku bisa melihat lirihan bisikmu.

            Aku mencintaimu selamanya, Diandra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar