Total Tayangan Halaman

Sabtu, 21 Januari 2012

Karena Kamu, Septemberku

Karena Kamu, Septemberku
Lagu itu kembali mengalun merdu diiringi oleh nyanyian dan petikan gitar teman-temanku. Ya, teman sejawatku. Mereka berhasil memainkan lagu ini dengan indah, merangsang saraf-saraf diotakku untuk kembali memutar memori yang tersimpan dalam folder-folder yang tersembunyi. Layaknya kaset yang sedang berputar, memori itu tak bisa dihentikan, berputar begitu cepat dan aku tak pernah kuasa untuk menghentikannya. Aku kembali mengingat kenangan tentang kepedihan dan sakitnya rasa kehilangan.

Bangunkan aku saat September usai
Musim panas datang silih berganti
Wajah tak berdosa itu selalu hadir membayangi
Bangunkan aku saat September usai
Seperti ayahku yang telah tiada di sini
Tujuh tahun terasa begitu cepat tanpa sempat kuulangi
Bangunkan aku saat September usai
Akhirnya hujan datang lagi
Jatuh bersama bintang-bintang yang mati
Menghujani tiap tetes kesalahan yang menghantui
Mengingatkan kita pada jati diri
Bukan semudah itu cara hapus memori
Takkan lupakan ayah yang pergi sendiri
Bangunkan aku saat September usai

            Aku juga kembali melukiskan sketsa tanpa nama dalam imajiku, pensil-pensil tak nyata bergerak dengan sendirinya, melukiskan tiga goresan wajah yang sangat berharga untukku. Satu demi satu pensil itu melukiskan wajah-wajah yang masih tersimpan fotonya dalam otak kananku, meski sudah sedikit buram dan sobek akibat dimakan waktu. Ada tiga lembar kertas di kanvas yang menjadi tempat dimana pensil itu menari-nari membentuk ukiran raut wajah tiga orang yang sangat berharga bagiku, yaitu ayahku, ibuku,dan kamu. Menurutku lagu ini sangat identik dengan mereka bertiga, orang-orang yang digambar oleh pensil imajiku.

            Ayah, dengan wajah pucat pasi kau tinggalkan dunia ini tanpa sekedar berpamitan kepada anak lelakimu ini. Anak yang sangat menyayangimu, dan selalu membisikkan do’a untukmu dalam setiap  bait do’a yang terpanjatkan untuk Allah. Aku harap engkau akan selalu bahagia di sana ayah. Aku sangat menyayangimu, meski aku belum sempat mengatakannya secara langsung.

            Gambaran kedua adalah 3 huruf penuh makna. Ibu. Sembilan bulan aku dikandungnya, 18 tahun aku dirawatnya, aku jadi ingat dulu sering membantu ibuku bekerja untuk membersihkan kandang bebek di kota. Syukurlah sekarang kerja ibu sudah lebih baik daripada sebelumnya. Semoga warung ibu selalu laris didatangi orang. Aku yakin asalkan selalu menggunakan cara yang halal untuk mencari uang demi aku, maka Allah akan selalu membantu langkah ibu dalam mengais rejeki lewat masakan khas ibuku. Masakan yang selalu kurindukan tiap aku pulang ke rumah dari kota rantau ini.

Yang terakhir, kamu. Bolehkah aku menyebutmu Septemberku? Sedikit demi sedikit bayang wajahmu terlukiskan oleh pensil itu. Kamu yang sekarang tak aku ketahui keberadaannya, yaitu kamu yang berjanji akan membangunkan aku di akhir September. Kamu pula yang berjanji akan membangunkan aku kapanpun aku mau. Kamulah yang akan mewarnai sketsa gambar tak berharga milikku ini. Aku harap.

            Mungkin sekarang kamu sedang sibuk bergulat dengan kertas-kertas,menyelesaikan deadline tugas yang harus segera terkumpulkan. Ya, kamu yang rajin akan tetap begitu. Sungguh berbeda dengan aku yang sangat pemalas. Dulu kau sering memarahiku karena aku tak kunjung menyelesaikan PRku, atau aku yang malas belajar meskipun besoknya ulangan. Aku sangat merindukan saat-saat itu, karena sekarang kamu tidak ada di dekatku lagi.

Aku rasa, mungkin saat ini kamarmu sedang dalam keadaan yang tak tertata rapi, seperti jam tidurmu yang juga berantakan. Terkadang aku tak tega meski hanya sekedar membayangkannya. Karena tubuhmu yang kurus dan kecil akan menjadikanmu semakin mungil jika kamu lupa makan dan hanya mengerjakan tugas-tugasmu saja. Semoga kamu selalu sehat di sana ya.

Aku tersenyum. Bukan salahku untuk kembali mengingatmu yang dulu pernah ada dalam serpihan kaca kehidupanku, membantuku membereskan pecahan kaca dalam tiap langkah yang akan kulewati. Terutama di bulan September saat itu.

            Hari itu hari yang indah seperti biasanya. Sudah beberapa hari setelah Tanggal 20 September, bahkan hanya sebulan setelah aku genap berusia 17 tahun. Pagi itu, aku kembali menyanyikan lagu kesayanganku untuk mensyukuri karunia Allah yang tak terhingga.

Hari yang indah, langitnya biru cerah..

Matahari bersinar terik, vitamin D yang ada merasuk melalui pori-pori kulitku. Sinar matahari juga menghujani orang-orang yang sedang keluar rumah. Membagikan hangat sinarnya untuk semua orang tanpa pandang bulu. Ya, hari itu aku melihat matahari yang begitu cerah, seakan menyunggingkan sebuah senyuman seperti matahari yang digambar oleh seorang anak SD di buku gambar kecilnya. Aku mengucapkan selamat pagi untuk dunia dan matahari, ya meski hanya sekedar sapaan tanpa makna namun cukup membuatku bergairah menjalani hidup.

Aku menaiki bus menuju sekolahku, cukup sesak dan beberapa orang berwajah garang berlalu lalang di sekitarku. Ya, badanku yang kecil untuk seukuran anak lelaki SMA memang seringkali membuatku diremehkan oleh orang lain. Padahal jelas-jelas aku telah memakai seragam putih dengan celana panjang warna abu-abu khas anak SMA. Apalagi umurku telah menginjak 17 tahun, tingkatan umur yang katanya telah menunjukkan bahwa seorang pria telah dewasa. Jadi kesimpulannya, aku bukan anak kecil lagi. Meskipun aku tetap memakai kacamata cuphu dan rambutku tak kuberdirikan seperti pengamen-pengamen di terminal, tapi aku berharap semua orang tetap menganggapku sebagai anak SMA. Apalagi tahun ini aku akan lulus dari SMA.

Beberapa menit berlalu, akhirnya aku sampai di sekolah. Sebentar aku mengamati sekolahku, gedungnya bercat biru, di depannya ada pohon-pohon besar tempat mobil-mobil guru diparkir. Banyak pula tanaman-tanaman hijau tumbuh subur, dan ada beberapa siswa berpakaian olahraga berlarian di lapangan basket untuk segera menjalankan aktivitas mereka masing-masing. Beberapa detik aku mengamati, ternyata sekolahku memang tak pernah berubah sejak aku pertama kali masuk di sini dulu. Beberapa saat kemudian aku berlari karena melihat beberapa orang guru berwajah sedikit masam berdiri di dekat pintu gerbang. Pertanda sebentar lagi pintu akan segera ditutup.

Beruntunglah aku tidak terlambat, karena terlambat sekali lagi aku akan dipulangkan dari sini. Dan yang lebih parah tentunya pihak sekolah akan menelepon kedua orangtuaku untuk mengabarkan bahwa anaknya dipulangkan. Sebenarnya aku sangat keberatan dengan tindakan frontal itu, karena ayahku sedang dalam keadaan tidak berdaya, terbaring di rumah sakit, berpakaian hijau dan di tubuhnya penuh selang, membuatku lemas melihatnya. Anak mana yang tega melihat ayahnya dalam keadaan seperti itu?

Ibuku bekerja susah payah membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan kami, seringkali aku membolos pelajaran untuk membantu ibuku bekerja. Aku tahu tindakanku cukup nekat, tapi apa daya, keadaan membuatku untuk melakukannya. Aku lebih kasihan kepada ibuku yang bekerja sendirian daripada pelajaranku. Ya, aku yakin aku bisa belajar sendiri di rumah untuk mengejar ketertinggalan itu. Bukan masalah besar kan?

Pelajaran berlangsung seperti biasa, namun aku merasakan firasat buruk yang kututupi dari semua teman-temanku. Aku kira hanya perasaan-perasaan biasa. Hingga handphone-ku berdering. Aku harus segera pulang.

Dengan perasaan kalut aku pulang, bukan untuk menuju ke rumahku. Namun tujuan pertamaku adalah Rumah Sakit. Aku tak bisa membayangkan apa yang terjadi, dadaku sesak. Pikiranku penuh dengan aura-aura negatif dan bayangan-bayangan mengerikan tentang… ayahku.

Sesampainya di rumah sakit, tubuhku semakin gemetar. Saraf-saraf di tubuhku mulai tak beraturan kerjanya, jantungku berpacu begitu keras melebihi keadaan jantung saat aku minum kopi atau aku sedang bertemu dengan gadis pujaan hatiku. Keringat dingin menetes di sekujur tubuhku, meskipun rumah sakit ini sudah memiliki hawa yang cukup dingin dengan AC yang ada di setiap sudut ruangannya yang bercat putih. Aku berjalan begitu cepat menuju kamar ayahku. Ya, kamar ayahku. Bahkan aku sudah tak sanggup mengucapkan apapun lagi.

Malaikat benar-benar telah menjemputnya, nafasnya telah terhenti sebelum aku puas melihatnya untuk yang terakhir kali. Aku berjalan, pelan mendekatinya. Mencium tangannya mungkin untuk yang terakhir kali, mengucapkan kata selamat tinggalpun sudah tak berarti lagi. Ayahku sudah tak sanggup mendengarnya. Menghentakkan kakiku ke tanah berapa kalipun takkan bisa membuat malaikat berubah pikiran dan membawa ruhnya kembali ke sini. Aku pasrah. Video Player dalam otakku kembali memutar kenangan hitam-putih tentang aku dan ayahku. Ayahku yang pemberani dan mampu menyelesaikan semua masalah. Ayahku yang mengajariku tentang masalah listrik dan pertukangan. Beliau selalu mengatakan, “Kamu anak laki-laki, nanti jadi suami orang. Kalo udah punya rumah sendiri dan nggak bisa mbenerin listrik dan alat-alat rumah tangga yang lain, nanti mau jadi apa kamu?”

Tetesan air mata membanjiri ruangan itu. Beberapa minggu ayahku disini, biayanya juga tak cukup murah. Uang yang sebenarnya digunakan untuk biaya les tambahanku, kuikhlaskan untuk biaya perawatan ayahku. Toh, itu juga uang hasil jerih payah ayahku. Setidaknya itu bentuk pengabdian terakhirku padanya.

Beberapa hari kemudian aku masih dalam keadaan shock hingga kemudian teman-teman sekelasku datang untuk berbelasungkawa. Aku cukup terhibur dan sangat menghargai kedatangan mereka, juga kedatanganmu untuk rela datang kesini karena pesan dan telepon yang masuk ke handphoneku tidak kuhiraukan. Wajahmu pilu melihat keadaanku, aku semakin sedih melihatmu begitu. Aku mengatakan sesuatu agar kau tak ikut-ikutan berwajah pilu sepertiku. Lalu kau tersenyum, manis sekali. Cukup menjadi obat penghibur rasa sakitku.

Saat aku menyanyikan lagu ini berulang kali, kau selalu ada di sampingku. Menatapku dengan wajah lugu dan mata sayu, seakan mengisyaratkan bahwa semua akan baik-baik saja. Lalu kau bilang, “Aku akan membangunkanmu saat September usai, aku janji.” Aku tersenyum, kamu memang nyala api dalam hatiku. Yang selalu memacu jantungku untuk mengalirkan darahnya lebih cepat. Dan membuat rangka tulang di mulutku selalu ingin tersenyum di depanmu. Terima kasih Septemberku.

Itulah yang terjadi pada September tahun lalu. Setelah kejadian itu, aku tidak ingin terus-terusan berada di bulan duka ini. Aku selalu ingin agar bulan September dilewati saja. Lantunan lagu dari Green Day mengisahkan kisah yang sama bagiku. Kisah memilukan tentang seorang lelaki yang kehilangan ayahnya.

Namun aku selalu bersyukur, kau selalu ada dan masih tetap seperti dulu. Beberapa hari yang lalu aku sempat melihatmu dan menyapamu di jalan, tapi kau tetap hanya tersenyum seperti biasa. Senyum lugu yang sangat manis untukku.

Meski kini telah ada kamu-kamu lain yang menjadi pendampingku. Tapi kamulah yang paling berbeda. Karena kamu Septemberku, orang yang akan selalu membangunkanku di akhir September.
***
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar